I made this widget at MyFlashFetish.com.

Etiam placerat

PENGELOLAAN SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

PENGELOLAAN SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

April 8, 2011
1. Pendahuluan
Kalimantan Tengah merupakan salah satu di antara beberapa propinsi di Republik Indonesia yang memiliki cadangan sumber daya mineral dan energi yang tinggi. Karena itu industri pertambangan adalah industri yang sangat diharapkan mampu menjadi motor penggerak pembangunan di Propinsi Kalimantan Tengah. Namun sering kali terjadi negara-negara yang kaya akan sumber daya mineral dan energi menunjukkan tingkat perekonomian dan pembangunan yang kurang dibandingkan negara yang tidak memiliki banyak cadangan mineral dan energi. Fenomena ini diungkapkan dan diteliti dalam “Resource Curse Theory” atau teori kutukan sumber daya. Karena itu sangat penting bagi Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk dapat mengelola sebaik-baiknya sumber daya mineral dan energi dimilikinya agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat di bumi Isen Mulang baik bagi generasi saat ini maupun yang akan datang.
Makalah ini akan di mulai dengan melihat cadangan mineral dan batubara yang terestimasi di daerah Kalimantan Tengah. Teori “resource curse” kemudian dibahas secara lebih rinci yang kemudian dilanjutkan dengan tinjauan tentang praktik penambangan berkelanjutan sebagai salah satu cara agar tidak terjebak di dalam fenomena “resource curse”. Ini kemudian dilanjutkan dengan pemaparan strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan energi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah.
2. Cadangan Mineral dan Energi di Kalimantan Tengah
Data sumber daya mineral dan energi yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah diberikan di Tabel 1 dan 2. Beberapa situs website memuat potensi cadangan didata oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Tengah. Data sumber daya batubara yang ada cukup detil namun data sumber daya mineral sangat minimal. Dapat kita lihat bahwa potensi cadangan mineral dan batubara yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah sangat besar.
Sampai tahun 2008 Pemerintah Daerah telah memberikan izin usaha pertambangannya untuk sebanyak 5 KK (Kontrak Karya), 15 buah PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan 247 KP (Kuasa Pertambangan) dengan total luas areal pertambangan yang mencapai 4,3 juta hektar.
Tabel 1. Sumber Daya Batubara di Propinsi Kalimantan Tengah (ton)
Kabupaten Tereka Tertunjuk Terukur Jumlah per kabupaten
Murung Raya 1.370.136.098 189.882.090 279.897.108 1.839.915.296
Barito Utara 374.157.747 527.537.704 607.068.538 1.508.763.988
Barito Timur 68.298.389 71.515.732 40.077.754 179.891.875
Barito Selatan 51.507.530 60.542.123 22.936.958 134.986.611
Kapuas 372.989.580 188.370.884 123.725.358 685.085.822
Kotawaringin Barat - 306.334.795 104.294.417 410.629.212
Kotawaringin Timur 17.400.000 - - 17.400.000
Katingan 17.485.491 - - 17.485.491
Gunung Mas 21.540.000 - - 21.540.000
Jumlah 2.293.514.835 1.344.183.328 1.178.000.133 4.815.698.295 (Total)
Sumber: http://kaltengmining.com/Halaman Utama.htm
Tabel 2. Sumber Daya Mineral dan Bahan Galian Industri di Propinsi Kalimantan Tengah (ton)
Bahan Galian Terindikasi Terukur
Kaolin 47.935.156 21.663.404,5
Pasir kuarsa 75.400.000 14.955.000
Fosfat 60.386 -
Batu gamping 545.713.080 -
Kristal kuarsa - -
Emas - -
Intan - -
Batuan beku/Batu belah - -
Biji besi - -
Timah hitam - -
Tembaga - -
Air raksa - -
Zircon - -
Sumber: http://www.kalteng.go.id/
3. Teori Kutukan Sumber Daya (Resource Curse Theory)
Populasi manusia yang terus meningkat mengindikasikan bahwa permintaan akan hasil mineral dan energi (batubara) akan terus berlanjut. Ini menunjukkan bahwa industri pertambangan dapat menjadi tulang punggung bagi pengembangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu wilayah.
Namun pengalaman dari beberapa negara berkembang sepanjang dua dekade terakhir ini banyak menunjukkan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya mineral dan energi (contohnya Peru, Zambia, Nigeria, Sierra Leone) justru mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara yang miskin akan sumber daya mineral dan energi (contohnya Taiwan dan Korea Selatan). Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang ditemukan berkorelasi negatif dengan jumlah sumber daya mineral dan energi yang dimiliki oleh negara-negara tersebut yang kemudian dikenal dengan fenomena “resources curse”  (Auty, 1993; Stijns, 2007; Rosser, 2006).
Selain tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, hal-hal negatif dari fenomena “resources curse” juga ditunjukkan melalui adanya konflik-konflik sosial dan budaya, ketimpangan ekonomi di dalam komunitas masyarakat, rendahnya partisipasi dan manfaat bagi penduduk lokal serta hilangnya lapangan pekerjaan pada saat cadangan berakhir yang kemudian ditambah lagi dengan kerusakan sistem ekologi dan pencemaran lingkungan yang harus dialami dan diperbaiki oleh masyarakat lokal dan generasi-generasi sesudahnya.
Rosser (2006) menunjukkan bahwa meskipun kekayaan sumber daya sering terkait dengan pembangunan yang buruk namun bukan berarti itu yang menjadi penyebab utamanya melainkan lebih pada kondisi politik, sosial dan ekonomi di negara/daerah tersebut. Industri mineral sangat tergantung (dan juga memberi dampak berarti) pada empat bidang yaitu ekonomi, lingkungan, masyarakat dan tata pemerintahan yang baik (good governance) (MMSD, 2002; Richards, 2005). Selama ini industri pertambangan memiliki catatan kurang baik terutama dari segi lingkungan dan hubungan dengan masyarakat. Tata pemerintahan yang baik menjamin distribusi dan pemanfaatan yang baik dari pendapatan pajak dan royalti pertambangan. Negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam cenderung memiliki pemerintahan dan institusi publik yang lemah dan tidak efisien di mana praktik-praktik korupsi juga sering terjadi.
Beberapa peneliti mencoba mengidentifikasi penyebab terjadinya fenomena kutukan sumber daya ini yang antara lain sebagai berikut: (i) meningkatnya pendapatan negara dengan tingginya ekspor hasil sumber daya alam menyebabkan apresiasi nilai tukar uang yang pada akhirnya menurunkan produksi barang manufaktur (Ducth disease); (ii) harga produk di pasar yang tidak stabil dapat menimbulkan beban berat untuk membayar utang; (iii) pendistribution keuntungan yang lebih terfokus pada pembelanjaan dan kurang pada pengawasan dan regulasi ekonomi (Auty, 1993; Rosser, 2006).
4. Industri Pertambangan Berkelanjutan
Prinsip pertambangan berkelanjutan merupakan bagian dari prinsip pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan dalam Bruntland Report sebagai berikut: “pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri” (WCED, 1987).
Pada kenyataannya implementasi dari prinsip pembangunan berkelanjutan di bidang mineral dan energi (tak terbarukan) tidaklah mudah. Dengan pertimbangan bahwa sumber daya mineral dan energi sifatnya terbatas/tidak terbarukan (finite/non-renewable resources), ada dua pandangan yang berbeda dalam melihat pembangunan berkelanjutan di bidang mineral dan energi tak terbarukan: ekosentris dan teknosentris (Shield dan Solar, 2005). Pandangan ekosentris berdiri pada argumen keberlanjutan yang kuat (strong sustainability) di mana yang paling ekstrim melarang segala bentuk pertambangan. Di sisi lain pandangan teknosentris berdiri pada argumen keberlanjutan yang lemah (weak sustainability) dengan pandangan paling ekstrim memperbolehkan usaha pertambangan di mana saja dan dengan cara apa saja asalkan hasil yang diperoleh dinvestasikan kembali untuk menciptakan bentuk sumber daya dan modal yang lain untuk kesejahteraan masyarakat.
Perbedaan mendasar dari dua paham pembangunan berkelanjutan ini terletak pada cara memandang keterkaitan sumber daya alam dengan sumber-sumber daya buatan manusia. Di dalam paham strong sustainability, sumber daya alam tidak dapat digantikan oleh sumber-sumber daya buatan manusia, sementara di dalam paham weak sustainability, sumber daya alam dapat digantikan oleh sumber-sumber daya buatan manusia (Tietenberg, 1996). Paham weak sustainability didasari oleh aturan Hartwick-Solow yang menyatakan secara jelas bahwa suatu perekonomian akan berkelanjutan jika total kekayaan sumber dayanya (alami dan buatan) tidak berkurang (Lange and Wright, 2002). Ini berarti berkurangnya jumlah sumber daya alam dapat dikompensasi dengan bertambahnya sumber-sumber daya buatan manusia sehingga total aset tidak berkurang.
Industri pertambangan bahan mineral dan energi sifatnya tidak terbarukan dapat yang dilakukan secara berkelanjutan dengan mengambil posisi lebih banyak di paham weak sustainability. Dalam kerangka pertambangan berkelanjutan berkurangnya cadangan mineral dan energi harus disubstitusi dengan bertambahnya sumber-sumber daya lain. Hasil eksploitasi dari sumber daya mineral dan energi harus dapat ditransformasi menjadi sumber-sumber daya manusia (human), keuangan (financial) dan barang-barang manufaktur. Dengan demikian industri pertambangan dapat bersifat berkelanjutan tidak hanya dengan menyediakan kebutuhan masyarakat akan satu produk tetapi juga menciptakan mata pencaharian yang sifatnya berkelanjutan (Hobbs, 2005).
Pada kenyataannya ada sumber-sumber daya alam tertentu yang tidak tergantikan perannya dalam ekosistem dan harus dipertahankan contohnya keanekaragaman hayati dan fungsi hutan sebagai penyangga daerah aliran sungai. Dengan demikian industri pertambangan berkelanjutan merupakan kombinasi dari paham weak sustainability dan strong sustainability.
Beberapa peneliti mengajukan tiga dimensi dari pembangunan berkelanjutan yaitu: keberlanjutan ekonomi (economical sustainability), keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability), dan keberlanjutan sosial (social sustainability) (Bhagwat, 2005; Richards, 2005). MMSD (2002) kemudian menyatakan bahwa tata pemerintah yang baik (good governance) merupakan satu dimensi tambahan yang penting untuk dapat menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Implementasi dari dimensi-dimensi pertambangan berkelanjutan di atas harus dilakukan secara terintegrasi dan akan dibahas pada sub-sub bab di bawah ini.
4.1 Aspek Ekonomi
Ditinjau dari sisi keberlanjutan ekonomi, industri pertambangan harus mampu memaksimalkan kesejahteraan masyarakat, memanfaatkan semua bentuk sumber daya secara efisien, memasukkan semua biaya termasuk biaya lingkungan dan sosial dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk terciptanya diversifikasi usaha dalam perekonomian satu daerah (MMSD, 2002).
Aturan Harwick dan Solow menyatakan bahwa perekonomian yang berkelanjutan dari suatu pembangunan yang berbasis sumber daya alam tidak terbarukan harus mampu mentransformasi kekayaan sumber daya alam tersebut ke dalam bentuk-bentuk kekayaan yang lain. Kemampuan ini sangat tergantung pada tiga faktor: (i) kebijakan yang menekankan efisiensi dalam proses pemanfaatan satu SDA sehingga dapat diperoleh keuntungan maksimum yang sesuai dengan nilai berkurangnya SDA tersebut; (ii) pengumpulan hasil keuntungan oleh instansi terkait secara bertanggung jawab; dan (iii) investasi keuntungan pada aset-aset alternatif yang mampu menghasilkan pendapatan sama besarnya dengan pendapatan sumber daya alam yang sedang dihabiskan (Lange and Wright, 2002).
Untuk mengetahui total kekayaan sumber daya alam yang dimiliki suatu daerah dan menjamin kesuksesan dari ketiga faktor di atas sangat perlu adanya perhitungan yang akurat atas nilai dari sumber daya lingkungan (environmental account) dan mineral (mineral account) yang akan dieksploitasi. Ada beberapa metode perhitungan yang dapat digunakan untuk akutansi lingkungan dan mineral ini (Bhagwat, 2005). Contoh perhitungan dan implementasinya dalam bidang mineral di Botswana dan Namibia diberikan oleh Lange and Wright (2002) dan Lange (2004). Harga mineral dan energi di pasar sering tidak mencerminkan biaya-biaya eksternal yang bersifat negatif seperti: kerusakan lingkungan dan biaya perbaikannya; perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat lokal; dan ketergantungan akan produk impor di masa depan saat sumber daya alam setempat telah habis. Di dalam pertambangan berkelanjutan, biaya-biaya lingkungan ini sangat penting untuk dimasukkan dalam akutansi biaya produksi satu produk hasil tambang. Terkait dengan ini Tietenberg (1996) mengusulkan dua prinsip yaitu biaya penuh (full cost) dan daya dukung (carrying capacity).
Akutansi biaya penuh mengikutsertakan semua aspek biaya di dalam biaya produksi termasuk biaya rehabilitasi lingkungan dan sosial sehingga harga dari satu produk menjadi naik. Dengan meningkatnya harga, konsumer diharapkan dapat menggunakan produk dengan lebih hemat dan berusaha mencari alternatif. Dengan adanya substitusi produser akan berusaha mencari alternatif teknologi yang lebih murah. Ini semua akan membantu mengurangi kecepatan berkurangnya cadangan mineral dan energi.
Sementara itu prinsip daya dukung menyiratkan bahwa sumber daya alam yang ada memiliki kapasitas yang terbatas, yang melebih itu usaha ekploitasi menjadi tidak berkelanjutan lagi. Pada akhirnya perkembangan industri pertambangan bukan dibatasi habisnya bahan tambang melainkan oleh persyaratan lingkungan di mana keuntungan hasil tambang berada dibawa biaya lingkungan yang harus dikeluarkan (Mudd, 2007).
Terkait dengan faktor kedua dan ketiga, distribusi hasil keuntungan dari ekstraksi bahan tambang harus diputuskan secara demokratis dan dilakukan secara merata baik di antara sektor publik dan swasta juga di antara pemerintah pusat, daerah dan lokal. Pemanfaatan dari keuntungan pertambangan ini harus dikelola dengan baik untuk pembelanjaan publik (infrastuktur, pendidikan dan kesehatan) juga diinvestasikan kembali dalam bentuk usaha lain untuk diversifikasi ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Walker dan Jourdan (2005) memaparkan mekanisme yang dapat digunakan oleh Afrika Selatan dalam memanfaatkan sumber daya mineral untuk dapat beralih dari perekonomian berbasis sumber daya alam (resource-based economy) menjadi perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Ada tiga tahapan mekanisme yang dapat diadopsi yaitu (i) investasi perolehan keuntungan tambang untuk menciptakan usaha-usaha sampingan dan hilir yang terkait dengan usaha pertambangan yang ada (contohnya peleburan bijih); (ii) mengembangkan usaha-usaha dengan pasar yang lebih luas seperti manufaktur (contohnya barang-barang kebutuhan industri otomotif dan konstruksi) dan jasa (contohnya pemboran, peledakan, metalurgi); (iii) migrasi ke usaha-usaha yang lebih berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (contohnya jasa teknologi komunikasi, perangkat lunak, produk makanan dan bioteknologi). Untuk mencapai ini sangat diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Selain itu pula sangat penting untuk mengalokasikan sebagian dari hasil keuntungan sebagai dana cadangan/stabilisasi (stabilization fund) yang digunakan pada saat harga komoditas terpuruk atau krisis ekonomi (Auty, 1993). Beberapa negara-negara penghasil minyak dan bahan tambang seperti Norwegia, Russia, Chile, Venezuela dan Papua New Guinea telah mengalokasikan sebagian dari keuntungan ekspor mereka untuk dana cadangan saat perekonomian melemah.
4.2. Aspek Lingkungan
Unsur lingkungan merupakan unsur utama untuk mencapai tujuan dari pertambangan berkelanjutan. Dalam sejarah, pertambangan dikenal sebagai suatu industri yang tidak ramah lingkungan. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan dari proses penambangan yang mana bertujuan mengekstraksi batuan untuk mengambil mineral dan bahan berharga dari dalam bumi dan sebagai konsekuensinya sering terjadi gangguan tata guna lahan, volume material buangan yang tinggi dan pencemaran tanah dan air sungai karena reaksi-reaksi kimia. Selain itu juga lahan-lahan bekas tambangan dan pencemaran lingkungan akibat penambangan sering tidak direhabilitasi. Ini tentu saja sangat merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar tambang dan membebani generasi sesudahnya. Selain itu pula di Kalimantan Tengah banyak terdapat tambang-tambang skala kecil yang dioperasikan oleh masyarakat yang umumnya menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup besar.
Namun ini tidak berarti industri pertambangan tidak dapat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran para profesional tambang dan masyarakat, teknologi juga berkembang untuk dapat meminimalkan kerusakan lingkugan dan menghasilkan operasi penambangan yang bersih. Sekarang ini Studi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan kewajiban bagi perusahaan sebelum izin diberikan.
Kunci utama terlaksananya pertambangan yang ramah lingkungan terletak pada perubahan radikal di dalam organisasi dan perangkat hukum/kebijakan serta juga pada komitmen dari semua pihak terkait (stakeholders) yaitu perusahaan, pemerintah, LSM, masyarakat lokal dan peneliti akademik. Perusahaan sebagai pelaksana, pemerintah sebagai pembuat dan dan penegak peraturan serta LSM, masyarakat lokal dan lingkungan akademik selaku pengamat harus bekerja sama untuk menjamin bahwa limbah dan kerusakan lingkungan akibat operasi penambangan ditekan serendah-rendahnya.
Pada akhirnya harus disadari bahwa ada unsur-unsur lingkungan seperti hutan alam (sebagai peresap air dan penanggulangan banjir)  yang tidak dapat tergantikan dan berperan kritis dalam kelangsungan kehidupan yang harus diperhatikan dan menjadi batasan (constraint) dari suatu operasi penambangan.
4.3 Aspek Sosial
Industri pertambangan juga dikenal di dalam sejarah sebagai industri di mana perolehan keuntungan tidak didistribusikan secara merata ke semua lapisan masyarakat. Selama ini keuntungan dari bisnis pertambangan lebih terkonsentrasi dan dinikmati oleh sedikit orang (pemegang saham) yang seringkali berada di luar daerah di mana industri pertambangan tersebut dijalankan.
Sebagaimana telah dibahas dalam sub-sub bab sebelumnya bahwa ekspansi dari industri pertambangan pada akhirnya akan terbatas oleh kondisi lingkungan. Karena itu eksploitasi dari satu bahan tambang di satu daerah harus bermanfaat bagi masyarakat di daerah tersebut dalam kerangka waktu yang melebihi usia penambangan. Manfaat-manfaat jangka panjang ini dapat berbentuk: (1) fisik (tangible) seperti pembangunan infrastruktur, diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat; (2) non fisik (intangible) seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui sistem pendidikan dan kesehatan yang baik.
Di Propinsi Kalimantan Tengah kita dapat melihat bahwa tingkat pembangunan infrastuktur daerah, pelayanan dan fasilitas kesehatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat lambat dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia padahal Kalimantan Tengah termasuk daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti mineral, batubara dan hutan. Sampai saat ini ketersediaan listrik untuk masyarakat masih belum lancar. Ini tentunya menjadi bahan evaluasi kita bersama mengenai kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya batubara di Kalimantan Tengah.
Galeano (1998) dalam bukunya “The Open Veins of Latin America” menegaskan bahwa untuk meningkatkan sistem perekonomian lokal dan mobilitas masyarakat makan jalan-jalan utama dan jalur kereta api yang dibangun harus membentuk satu sistem transportasi yang menghubungkan antar daerah pemukiman. Sementara itu jika jalan-jalan utama dan jalur kereta api di suatu daerah dibangun menyerupai aliran sungai yang bermuara di laut maka dapat dipastikan bahwa ini dibangun untuk menguras sumber daya alam daerah tersebut untuk kepentingan pihak luar.
Studi-studi yang dilakukan oleh Stijns (2007) dan Auty (1993) lebih lanjut menyimpulkan bahwa di dalam konteks negara berkembang, negara-negara yang kaya akan sumber daya alam (contohnya Zambia dan Sierra Leone) cenderung memiliki investasi yang lebih rendah dalam sumber daya manusia (human capital) dibandingkan dengan negara-negara yang miskin sumber daya alamnya (contohnya Korea Selatan dan Taiwan). Sumber daya sosial seperti hubungan sosial antar anggota masyarakat, norma-norma sosial dan institusi-institusi sosial dalam masyarakat semakin lama semakin tergerus sejalan dengan berkembangnya suatu wilayah.
Selain itu pula, sering juga terjadi cadangan berada di daerah terpencil yang didiami oleh satu kelompok masyarakat asli (indigenous people) dan mereka yang paling merasakan dampak lingkungan, sosial dan budaya dari satu usaha pertambangan. Namun sangat disayangkan mereka sering menjadi pihak yang paling lemah dan tidak berperan besar dalam industri pertambangan di daerah mereka. Persetujuan dari masyarakat asli (indigenous people consent) sering ditiadakan dan mereka seringkali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan awal maupun saat operasi penambangan. Di dalam perangkat-perangkat hukum yang mengatur pertambangan di Indonesia pun, persetujuan dari masyarakat asli bukan suatu hal yang wajib dalam pemberian ijin usaha pertambangan. Karena itu perlu ada perubahan dalam proses perijinan di mana hak penduduk lokal harus dihormati. Sejalan dengan itu pula perlu ada payung hukum yang melindungi hak kepemilikan tanah untuk masyarakat asli. Patut kita sadari bahwa dukungan masyarakat di sekitar lokasi penambangan dapat menjamin kesuksesan suatu usaha pertambangan. Sejumlah kecil perusahaan tambang juga telah mengadakan Analisis Dampak Sosial untuk melihat dampak sosial dari operasi penambangan bagi masyarakat sekitar. Lebih lanjut lagi dampak budaya juga penting untuk dimasukkan dalam studi awal.
Mengingat bahan tambang mempunyai sifat tidak terbarukan, selain peningkatan kesejahteraan untuk generasi sekarang dari mayarakat di sekitar tambang, hasil keuntungan penambangan juga perlu dialokasikan dalam bentuk dana simpanan yang disisihkan untuk generasi mendatang. Kita dapat mencontoh Kuwait sebagai negara penghasil minyak mereka memiliki Reserve Fund for Future Generations, suatu dana cadangan yang disisihkan dari keuntungan ekspor minyak untuk keperluan generasi penerus.
4.4. Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Pemerintah baik di tingkat nasional, propinsi maupun lokal memiliki peran yang sangat penting dalam tercapainya pertambangan berkelanjutan. Pemerintah berperan dalam membuat perencanan pengelolaan sumber daya mineral dan energi, regulasi dan kebijakan yang mengatur integrasi aspek ekononi, lingkungan dan sosial untuk mencapai tujuan pertambangan berkelanjutan serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya. Pemerintah perlu menciptakan proses pengambilan keputusan yang demokratis dan transparan bagi semua pihak. Selain itu pula kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan (accountable).
Melihat demikian besarnya peran yang dimainkan oleh pemerintah, kegiatan peningkatan kemampuan/kapasitas (capacity building) di dalam setiap institusi pemerintah adalah sangat penting. Dalam konteks pengelolaan mineral dan energi peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan melalui pelatihan berbagai disiplin ilmu terkait dan manajerial untuk mengelola dan mendistribusikan perolehan keuntungan dari industri pertambangan secara adil dan merata.
5. Usulan Awal Strategi Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Energi yang Berkelanjutan di Kalimantan Tengah
Untuk mengelola sumber daya mineral dan energi secara berkelanjutan yang dapat memberi manfaat maksimal bagi penduduknya, Propinsi Kalimantan Tengah harus memiliki rancangan detil (blueprint) pengelolaan dan pemanfaatan dari seluruh cadangan mineral dan energi yang dimilikinya yang konsisten dengan empat pilar utama pembangunan berkelanjutan: ekonomi, lingkungan, sosial dan tata pemerintahan yang baik. Dengan demikian pembuatan rancangan ini memerlukan integrasi dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu juga keberadaan tambang rakyat yang cukup banyak memberikan tantangan tersendiri dalam pengelolaan pertambangan di Kalimantan Tengah. Secara garis besar langkah-langkah yang dapat diambil untuk membuat rancangan detil ini dapat dilihat pada diagram proses di bawah ini (Gambar 1).
Langkah-langkah dalam Gambar 1 dibuat dengan menambah diagram proses yang diberikan oleh Shield dan Solar (2005). Hal pertama yang harus dilakukan adalah menginventarisasi data cadangan mineral dan energi yang layak tambang yang dilanjutkan dengan melakukan perhitungan (akutansi) cadangan dan lingkungan untuk mendapat gambaran total kekayaan cadangan di bawah tanah dan lingkungan di atasnya sehingga dapat dibuat perhitungan tingkat konsumsi yang berkelanjutan baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Gambar 1. Diagram proses pengelolaan sumber daya mineral dan energi secara berkelanjutan
Berbekal data-data ini para pemangku kepentingan (stakeholders) dapat diidentifikasi. Proses konsultasi harus dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan untuk mengetahui nilai-nilai yang mereka pegang dan tujuan-tujuan yang mereka inginkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan cadangan yang ada. Berdasarkan informasi-informasi yang ada beberapa alternatif pengelolaan dan pemanfaatan cadangan dapat dikembangkan. Beberapa aspek yang harus dimasukkan dan diperhatikan dalam tahapan ini adalah: rencana eksplorasi; eksploitasi (swasta, pemerintah, rakyat); pemenuhan kebutuhan lokal; sinergi antara eksploitasi dan pengolahan lokal (industri sampingan dan hilir) untuk dapat memberi nilai tambah; serta keperluan ekspor. Pembangunan infrastruktur direncanakan sesuai dengan rencana pengelolaan dan pemanfaatan ini. Jalur pengangkutan regional antar kabupaten seperti kereta api dapat direncanakan untuk memfasilitasi penyediaan kebutuhan lokal serta industri sampingan dan hilir selain juga untuk transportasi publik.
Studi kelayakan teknis dan ekonomi kemudian perlu dilakukan pada alternatif-alternatif pengelolaan dan pemanfaatan cadangan ini. Di samping itu perlu juga dilakukan analisis dampak lingkungan dan sosial untuk melihat apakah alternatif-alternatif ini sudah sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Peningkatan kesejahteraan dan keterlibatan langsung masyarakat lokal dalam industri pertambangan juga upaya-upaya mencegah dampak-dampak negatif  dari sisi lingkungan, sosial dan budaya harus menjadi perhatian para perencana. Pengembangan wilayah perlu memperhatikan daya dukung sosial dan budaya sehingga tidak terjadi perubahan mendadak dalam struktur sosial dan budaya yang dapat menimbulkan efek-efek negatif. Jika studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan dan sosial tidak memuaskan, alternatif-alternatif pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan energi ini harus direvisi sampai kemudian diperoleh alternatif yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan teknis, ekonomis, lingkungan dan sosial.
Jika studi kelayakan dan analisis dampak memberikan hasil yang memuaskan maka rencana pengelolaan dan pendistribusian perolehan keuntungan dari alternatif pemanfaatan cadangan mineral dan energi ini perlu dibuat untuk menjamin pendistribusian yang merata. Beberapa alokasi penggunaan yang harus dipertimbangkan adalah alokasi belanja publik (kesehatan, pendidikan dan infrastruktur), alokasi investasi ulang (diversifikasi usaha, sumber daya manusia dan sosial) dan alokasi dana simpanan (stabilization fund atau future generation fund). Diversifikasi usaha dapat dimulai dari usaha yang terkait dengan pertambangan dan industri hilir. Perlu juga dilakukan investasi untuk penguatan usaha masyarakat di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan serta penelitian dan aplikasi energi alternatif yang terbaharukan.
Alternatif yang sudah diuji ini berserta rencana pengelolaan keuntungan kemudian dibawa kembali ke para pemangku kepentingan. Jika sudah dapat diterima, tahapan implementasi dapat dimulai namun jika tidak dapat diterima maka alternatif ini harus direvisi kembali.
Pengawasan dan evaluasi kemudian dilakukan pada proses implementasi untuk dapat menjamin tercapainya tujuan pengelolaan sumber daya mineral dan energi yang berkelanjutan dan memberikan bahan masukan untuk memperbaiki tahapan-tahapan sebelumnya. Para pemangku kepentingan akan mendapat laporan hasil dari pengawasan dan evaluasi ini.
Rencana pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan energi yang diberikan pada Gambar 1 ini merupaka proses yang bersifat iteratif dan adaptif. Kegiatan eksplorasi secara berkala (misalnya setahun sekali) perlu dilakukan untuk memberi tambahan data yang digunakan untuk memperbaharui (updating) data cadangan yang ada.
Patut diingat bahwa usulan yang diberikan di dalam makalah ini merupakan kerangka awal dan untuk sampai pada tahap implentasi harus dilakukan studi dan analisa lebih lanjut. Konsep pengelolaan tambang rakyat kecil oleh masyarakat telah diajukan dalam tulisan sebelumnya (Adventa, 2008).
6. Kesimpulan
Propinsi Kalimantan Tengah sebagai propinsi yang memiliki cadangan mineral dan energi yang cukup besar dapat memanfaatkan potensi ini untuk pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan industri pertambangan yang berkelanjutan. Makalah ini telah menijau aspek-aspek dari pertambangan berkelanjutan dan memaparkan strategi pengelolaan dan pemanfaatan cadangan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Tengah.
Keberhasilan dari pembangunan berbasiskan sumber daya mineral dan energi untuk kemudian dapat beralih pada pembangunan berbasis pengetahuan sangat ditentukan oleh tingginya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan kapasitas untuk proses pembelajaran dan inovasi (Walker and Jourdan, 2003). Ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah dan masyarakat Kalimantan Tengah mengingat sumber daya ini bersifat terbatas dan hasil eksploitasi selama ini masih bisa dimanfaatkan lebih maksimal untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat Kalimantan Tengah.
Daftar Pustaka
Adventa, A. (2008) Merkuri Kadar Rendah Ternyata Masih Berbahaya: Sebuah Refleksi Untuk Penambangan Emas Rakyat Semi-Mekanis. Opini Kalteng Pos April 2008. Bisa diakses di :
http://pateteitamuei.wordpress.com/2009/05/09/merkuri-kadar-rendah-ternyata-masih-berbahaya/
Auty, R. (1993) Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis. London: Routledge
Bhagwat, S. (2005) Economics of Sustainable Mining. Di dalam: Rajaram, V. et al (editors). Sustainable Mining Practices: A Global Perspective. A.A. Balkema Publisher. Leiden.
Galeano, E. (1998) The Open Veins of Latin America: Five Centuries of the Pillage of a Continent. New York University Press
Hobbs, J.C.A. (2005) Enhancing the Contribution of Mining to Sustainable Development. Di dalam: Marker, B. R. et al. (editors.) Sustainable Minerals Operations in the Developing World. Geological Society, London, Special Publication 250: 9-24
Lange, G.M. dan Wright, M. (2002). Sustainable Development in Mineral Economies: The Example of Botswana. CEEPA Discussion Paper No 3, Centre for Environmental Economics and Policy in Africa (CEEPA), University of Pretoria, Pretoria.
Lange, G.M. (2004) Wealth, Natural Capital, and Sustainable Development: Contrasting Examples from Botswana and Namibia. Environmental and Resource Economics 29: 257–283, 2004.
MMSD (2002) Breaking New Ground. International Institute for Environment and Development. Earthscan Publication, London.
Mudd, G. (2007) Sustainable Mining – an Oxymoron? The Chemical Engineer Today Magazines, December 2007/January 2008. Institution of Chemical Engineers.
Richards, J. P. (2005) The Role of Minerals in Sustainable Development. Di dalam: Marker, B. R. et al. (eds.) Sustainable Minerals Operations in the Developing World. Geological Society, London, Special Publication 250: 25-34.
Rosser, A. (2006) The Political Economy of the Resource Curse: A Literature Survey, IDS Working Paper 268, Brighton: Institute of Development Studies, University of Sussex.
Shields, D.J. dan Šolar, S.V. (2005) Sustainable Development and Minerals: Measuring mining’s contribution to society. Di dalam: Marker, B. R. et al. (eds.) Sustainable Minerals Operations in the Developing World. Geological Society, London, Special Publication 250: 195-212.
Walker, M. dan Jourdan (2003) Resource-based sustainable development: an alternative approach to industrialisation in South Africa. Minerals and Energy 18: 25-43.
WCED (1987) The Report of the Brundtland Commission: Our Common Future. Oxford Univ. Press.

0 komentar:

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

About Me

Flag Counter

Blog Archive

Pages

Powered By Blogger

My Blog List

\Get snow effect

Followers