I made this widget at MyFlashFetish.com.

Etiam placerat

Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Adat Dayak

Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Adat Dayak

Pengantar

Sampai saat ini, pandangan terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam (PSDA) yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak masih keliru. Coba saja simak litani terhadap masyarakat adat Dayak yang berkaitan dengan PSDA berikut ini: Peladang berpindah; Perambah hutan; Penyebab kabut asap; Pemalas; Tidak efesien; Tidak produktif; Dimanja oleh alam; Mengaku-ngaku tanah, hutan hanya milik mereka; Wilayah kelolanya tidak jelas (tidak bersertifikat); Tidak mau mentaati aturan negara; Bertameng pada wilayah adat dan hukum adat; Membiarkan lahan “tidur”, dll.
Inilah sebagian dari litani yang sering diucapkan oleh mereka yang kurang paham terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak. Padahal, litani tersebut telah terbantahkan melalui berbagai kajian dan penelitian banyak pihak. Untuk mengurangi litani-stigmatisasi tersebut di atas, tulisan ini akan memaparkan bagaimana sistem pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak disertai beberapa contohnya. Dan pada bagian akhir tulisan ini akan ditutup dengan warning yang disampaikan oleh Charles Brooke.
Tulisan ini sebagian besar diringkas dari kajian yang dilakukan oleh John Bamba yang terdapat di buku Dayak Jalai Di Persimpangan Jalan terutama di bab VIII. Kemudian pada bagian contoh PSDA diringkas dari hasil pendokumentasian dan penelitian yang dilakukan oleh Institut Dayakologi.

Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Alam

Masyakarat adat Dayak memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang khas yang memadukan aspek kemandirian, keberlanjutan dan kemanfaatan secara integratif. Sistem pengelolaan ini ditopang oleh pandangan mereka tentang Dunia (worldviews) yang melihat seluruh alam beserta isinya sebagai satu kesatuan yang saling mendukung dan bukan menghancurkan. Ketiga aspek ini (kemandirian, keberlanjutan dan kemanfaatan) dijadikan fondasi dalam melahirkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan wilayah adat yang tercermin dalam 7 prinsip berikut ini.
1.Kesinambungan
Dalam pandangan masyarakat adat Dayak, alam beserta isinya tidak berfungsi secara ekonomis semata. Orang tidak hanya mencari makan ketika dia berhubungan dengan alam. Binatang-binatang yang menjadi sahabat dan penolong manusia, tempat-tempat keramat yang menjadi tempat manusia bertemu dan berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang serta berbagai ritual dalam kehidupan yang mereka jalankan membutuhkan alam dalam kondisi yang baik dan lestari. Manfaat secara ekonomis adalah akibat dari perlakuan manusia terhadap alam, bukan tujuan. Jika alam diperlakukan sesuai dengan jati dirinya sebagaimana yang tercermin dalam berbagai adat istiadat, alam akan membawa akibat berupa kebaikan bagi manusia termasuk secara ekonomis. Jika manfaat ekonomis dijadikan tujuan dari perlakuan manusia terhadap alam, maka pertimbangan-pertimbangan lain harus dikalahkan demi pertimbangan ekonomis.
Salah satu karakteristik dasar yang membedakan aktivitas yang menjadikan manfaat ekonomis sebagai akibat dan sebagai tujuan dalam pengelolaan alam adalah jenis tanaman yang dikelola. Aktivitas yang melihat manfaat ekonomis sebagai akibat akan menekankan unsur kealamiahan alam yang dikelola, dalam kasus di Kalimantan, dengan kata lain unsur keanekaragaman tanamannya. Dengan mempertahankan keanekaragaman yang menjadi ciri alam Kalimantan, alam dikelola sesuai dengan prasyarat dasar yang menjadi daya dukungnya. Ciri ini terlihat dengan jelas dalam kasus kebun karet, kebun buah-buahan dan bahkan keanekaragaman tanaman yang ada di ladang masyarakat adat Dayak. Kebun karet milik masyarakat adat Dayak yang sering disebut dengan stereotipe “Hutan Karet” sesungguhnya secara tepat merefleksikan realitas sesungguhnya dari “kebun” yang dimaksud yakni “pohon-pohon karet di tengah-tengah hutan yang asri”.
Sebaliknya, kebun kelapa sawit atau kebun pohon Akasia misalnya, merupakan contoh kebalikannya; yakni pengelolaan alam yang menjadikan manfaat ekonomis sebagai tujuan. Karena itu, tanamannya harus satu jenis agar dapat menghasilkan produk secara massal dan membanjiri pasar. Dalam perspektif ini, keanekaragaman tanaman justru menjadi penghambat tujuan yang ingin dicapai, sehingga tanaman-tanaman lain harus dibasmi dengan berbagai racun kimia yang sesungguhnya tidak hanya mematikan bagi tanaman, tetapi juga manusia dan binatang. Multikulturisme adalah penghalang Produktifitas. Prinsip pemanfaatan yang berkesinambungan ini juga tergambar dengan jelas dalam adat-istiadat dalam memanen jenis buah tertentu. Pada sebagian besar mayarakat adat Dayak, buah-buahan dikategorikan dalam 3 kelompok: pertama, buah yang hanya dipungut hasilnya ketika sudah jatuh ke tanah(durian, sembawang dll.); kedua, buah yang boleh dipotong dahannya atau buah pantuhan (rambutan, ketuat, dll.) dan ketiga, buah yang harus dipetik dengan menggunakan galah atau buah julukan (mentawa’, tebadak, dll.). Pada jenis buah tertentu yang memerlukan waktu yang lama untuk berproduksi serta akan mati jika dipotong dahannya, berlaku adat yang melarang masyarakat untuk memotong dahannya (lansat, duku, durian dll.).
2.Kebersamaan
Alam tidak dipandang sebagai asset atau kekayaan melainkan sebagai “rumah” bersama. Konsep “rumah bersama” ini secara sederhana dapat dilihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu dimana selalu terdapat unsur “permisi” pada penghuni alam ini. Bahkan dalam kegiatan memilih lahan yang akan digarap sebagai lokasi ladang yang baru, kegiatan meminta ijin dari penghuni lokasi yang akan digarap ini juga dilakukan. Suara burung tertentu atau bertemu dengan binatang tertentu dalam proses upacara adat membuka lahan menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam yang lain.
Dengan memperlakukan alam sebagai “rumah bersama” antara manusia dan mahluk yang lain, maka perlakuan terhadap alam juga menjadi berbeda. Alam tidak diekploitasi demi kepentingan manusia semata, melainkan juga dengan memperhatikan kepentingan mahluk lainnya. Karenanya, kegiatan-kegiatan yang exploitatif dan destruktif selalu dihindari demi menjaga keharmonisan antara manusia dan penghuni alam lainnya.
Lahan untuk berladang yang belum pernah digarap (biasanya terletak di antara batas kampung yang satu dengan kampung yang lain) boleh dimanfaatkan oleh siapa saja yang menjadi warga kampung yang bersangkutan. Ikan di sungai, binatang di hutan boleh ditangkap dan diburu oleh semua warga kampung yang bersangkutan. Kebun buah-buahan yang menjadi peninggalan nenek moyang boleh dimanfaatkan hasilnya oleh semua warga.
Ini tidak berarti bahwa sistem pengelolaan alam yang berlaku bersifat komunal total sebab hak-hak individu juga dihormati dan diakui oleh seluruh warga. Lahan yang telah digarap oleh salah seorang warga dan kemudian dijadikan kebun, dijamin haknya secara individu. Bahkan bekas ladang yang tidak ditanami oleh pemiliknya-pun, wajib meminta ijin jika warga lain ingin menggarapnya. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa penguasaan sumber daya alam pada masyarakat adat Dayak tidak berdasarkan pada prinsip komunal seperti yang berlaku di negara-negara komunis, maupun individual seperti yang berlaku pada negara-negara kapitalis. Prinsip yang berlaku adalah kolektifitas atau kebersamaan.
Prinsip Kebersamaan ini berimplikasi terhadap cara pengelolaan wilayah adat yang juga berdasarkan kerjasama, bukan persaingan. Bentuk kerjasama tersebut tergambar dalam adat bejuruk-bebarai (Dayak Jalai), belalek (Dayak Kanayatn), ruyong (Dayak Mualang), dan istilah lain sesuai bahasa setempat. Hal ini bertolak belakang dengan semangat Persaingan yang dikembangkan berdasarkan prinsip Individualitas. Dalam perspektif ini, siapa yang kuat modalnya, yang lebih pintar dan berkuasa, dialah yang menang. Prestasi diukur berdasarkan hasil yang dicapai orang per orang (individu) melalui persaingan bebas. Prestasi kelompok diukur dengan menjumlahkan prestasi individu-individu dibagi dengan jumlah kelompok sehingga dihasilkan rerata, tanpa memperdulikan apakah ada kesenjangan atau perbedaan yang sangat mencolok antara sekelompok orang dengan beberapa orang lainnya.
3.Alamiah
Masyarakat adat Dayak umumnya percaya bahwa alam telah memiliki mekanisme sendiri dalam memperbaharui dirinya dan manusia perlu secara cermat menangkap berbagai tanda alam yang ada yang memberikan petunjuk bagi manusia untuk menjaga proses tersebut. Oleh sebab itu, manusia perlu menghindari tindakan intervensi berlebihan terhadap alam yang dilakukan dengan sarana-sarana yang merusak.
Jika jagung misalnya, memang hanya memiliki satu tongkol buah, tidak perlu dipaksanakan agar menjadi dua tongkol terutama jika sampai harus memakai cara-cara yang justru merusak kelestarian alam. Demikian pula halnya dengan padi yang selama setahun, orang Dayak hanya bisa panen satu kali; tdak perlu dipaksakan harus menjadi 2-3 kali panen setahun sehingga harus mempergunakan berbagai bahan berupa pupuk dan racun kimia yang merusak alam dan membahayakan mahluk hidup termasuk manusia.
Sikap ini sama sekali bukanlah Fatalisme atau menyerah pada nasib, melainkan menghindari pemaksanaan terhadap realitas alam yang memiliki batas-batas tertentu sebagai prasyarat kelestariannya. Oleh karena itu, masyarakat adat Dayak tidak mengenal penggunaan berbagai bahan kimia sebagai pupuk atau racun hama. Pupuk yang digunakan adalah pupuk alam (organik)seperti abu dari tanah yang dibakar; hama tanaman ditanggulangi dengan memperbaharui kembali hubungan dengan unsur alam lainnya melalui berbagai ritual (seperti ritual Baabuang Hulat pada Dayak Jalai). Cara ini memang akan memperlambat manusia dalam mencapai dan mengembangkan berbagai prestasi intelektual, rekayasa teknologi serta manfaat-manfaat ekonomis, namun menjamin kelestarian alam yang berkesinambungan serta kehidupan yang lebih manusiawi.
4.Spiritualitas
Prinsip pengelolaan alam tidak perlu dicari-cari kaitannya dengan kepercayaan yang dimiliki, sebab bagi masyarakat adat Dayak, pengelolaan alam merupakan bagian dari spiritualitas. Karena itu, dalam sistem pengelolaan alam yang dijalankan, penuh dengan berbagai ritual yang meneguhkan keyakinan akan persatuan mereka dengan alam yang dihuninya.
Ritualitas ini merupakan konsekwensi dari pandangan bahwa pengelolaan alam merupakan bagian dari spiritualitas yang melekat dalam kehidupan masyarakat adat Dayak. Alam adalah ‘Rumah Ibadah’ mereka dan karena merupakan tempat ibadah, maka alam harus dijaga kesucian dan kemurniannya. Karena itu, ketika membakar ladang pada musim tanam yang baru, api dijaga sedemikian rupa sehingga tidak merambat ke hutan sekelilingnya. Hal itu dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan memperhatikan arah angin sebelum membakar, membersihkan sekeliling ladang (peladangan = sekitar 2-3m disekeliling ladang), membuat dan mempersiapkan alat-alat pemadam api dari bambu dan tanaman basah lainnya serta air, membakar serentak mulai dari tepi sekeliling ladang sehingga api membakar ke arah tengah serta melakukan pembakaran dengan mengundang anggota warga lainnya untuk bersama-sama menjaga api. Api yang tidak mampu dikendalikan dan membakar hutan sekeliling ladang merupakan malapetaka (bukan berkah supaya dapat menguasai tanah warga masyarakat lain), sebab akan menghancurkan kebun karet, buah-buahan, tempat keramat dan bahkan kuburan yang ada. Tiada bencana yang lebih besar bagi masyarakat adat Dayak selain jika tempat keramat mereka hangus dilalap api.
Karena itulah, prinsip spiritualitas ini jauh lebih penting dari pada rasionalitas yang bertumpu pada “prinsip-prinsip ilmiah” dan seringkali mengingkari realitas spiritual yang diyakini. Rasionalitas seringkali membawa orang pada keputusan-keputusan yang justru irasional terutama jika hal itu menyangkut keadilan dan kemanusiaan. Demikian pula prinsip-prinsip ilmiah yang meyakini adanya kebenaran yang berlaku secara universal, kadang-kadang justru menjadi “tahyul” berupa pendewaan ilmu yang menyebabkan orang mengingkari realitas sosial yang berbeda yang ada di sekelilingnya.
5.Proses
Dalam mengelola wilayah adatnya, masyarakat adat Dayak menekankan pentingnya proses yang dijalani apakah telah sesuai dengan adat istiadat yang berlaku atau tidak. Pentingnya proses tersebut menyebabkan berbagai ritual yang harus dilaksanakan mutlak dijalankan karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengelolaan tersebut. Akibatnya, banyak kalangan yang salah paham yang memandang berbagai ritual itu semata-mata sebagai pemborosan dan kegiatan pesta pora yang tidak efisien. Hal ini dapat dipahami mengingat paradigma yang dianut oleh masyarakat adat dengan kalangan yang memandang alam semata-mata sebagai aset ekonomis memang berbeda.
Aktivitas pasca panen misalnya yang selalu diikuti oleh berbagai ritual seperti upacara menaikkan padi ke dalam lumbung (Menjulang Atuq: Dayaka Jalai) makan padi baru (Kaambarahuan/Baansabatan) dan menandai pergantian tahun lama dan tahun baru (Menyapat Tahun) dipahami oleh kalangan luar sebagai kegiatan pesta pora yang tiada gunanya. Bagi masyarakat adat Dayak, hal ini justru berlaku sebaliknya. Ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari proses yang harus dijalani dalam rangka menjaga keseimbangan alam serta sikap yang harus ditunjukkan oleh manusia setelah menerima berkah dari alam yang diolahnya.
6.Subsistensi
Berbeda dengan ekonomi kapital yang dijalankan dalam rangka melayani kebutuhan pasar, ekonomi masyarakat adat bertumpu pada subsistensi untuk melayani kebutuhan sendiri. Karena itu, dalam sistem ekonomi kapitalis, komersialisme produk merupakan prasyarat agar mampu bersaing di pasar. Hal ini membawa konsekwensi pada peningkatan mutu produk secara terus menerus, menarik perhatian dan dalam jumlah yang besar guna menguasai pasaran. Dalam sistem ekonomi yang subsisten, masyarakat adat Dayak tidak perlu memproduksi dalam jumlah yang besar dan mutu yang selalu tertinggi. Ini tentu saja membawa konsekwensi pada produk-produk yang dihasilkan yang terbatas dalam segi jumlah dan mutunya. Meskipun kualitas tidak diabaikan sama sekali, namun faktor estetis hanya terbatas dalam ruang lingkup komunitas yang bersangkutan, tanpa perlu menyaingi produk lain sejenis yang ada di pasar. Hal ini tentu saja berimplikasi pula pada inovasi-inovasi yang dilakukan. Dalam rangka memenangkan persaingan, ekonomi yang melayani kebutuhan pasar memaksimalkan inovasi yang dilakukan termasuk melalui proses rekayasa ilmiah yang berimplikasi pada penggunaan sarana dan prasarana hasil rekayasa tersebut seperti bahan-bahan kimia tertentu. Bandingkan misalnya antara ayam pedaging (ras) yang diberi makanan dan suntikan kimia—bahkan kadang-kadang dipotong kaki dan paruhnya--supaya bisa cepat gemuk, bandingkan dengan ayam kampung yang dipelihara lebih secara alamiah. Hal yang sama dapat dilihat pada proses penanaman padi di payaq dan di sawah irigasi.
7.Hukum Adat
Hukum adat yang berlaku lokal mengatur sistem pengelolaan wilayah adat secara lokal pula. Hukum adat yang berakar pada budaya lokal ini, mengatur dan mengontrol proses pengelolaan wilayah adat yang dijalankan oleh warga komunitas agar sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Karena berskala lokal, hukum adat tidak perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan tuntutan pasar yang berkait berkelindan dengan kebutuhan ditingkat global. Hukum adat disusun lebih untuk menjamin tetap terjaganya kelestarian alam beserta seluruh isinya demi kepentingan masyarakat itu sendiri. Kawasan adat dibagi dalam beberapa kelompok berdasar pada peruntukannya.

Hak Kepemilikan

Hak milik warga benuaq/benua adalah kawasan dimana seluruh warga yang bermukim di benuaq tertentu memiliki hak kepemilikan yang sama. Yang termasuk hak milik benuaq adalah kuburan, tempat keramat, kampung buah, rimba dan areal perladangan termasuk tempat berburu, sungai, sarang lebah yang belum dimiliki, buah-buahan yang tumbuh liar di hutan umum, sarang burung yang belum ada pemiliknya serta pohon-pohon lain yang bermanfaat dan tumbuh di kawasan yang menjadi hak milik benuaq.
1. Hak Milik Individu
Hak milik individu atas tanah dan tanam-tumbuh di atasnya diperoleh melalui cara-cara berikut ini:
  • Bekas ladang yang setelah panen ditanami dengan tanaman keras seperti pohon buah-buahan atau tanaman produktif lainnya seperti karet, kopi, rotan dlsb.
  • Warisan orangtua
  1. Lahan yang diadati (dipudas) meskipun tidak ada tanaman kerasnya. Lahan yang dipudas adalah lahan yang ketika digarap menyebabkan kecelakaan atau penyakit bagi penggarapnya sehingga harus dilakukan upacara adat. Lahan yang dipudas termasuk hak milik pribadi karena orang yang memudas telah mengeluarkan sejumlah biaya sehingga bagi orang lain yang ingin menggarap lahan tersebut harus mengganti biaya yang telah dikeluarkan tersebut.
  2. Bawas bekas rimba yang digarap. Dengan kata lain, menjadi penggarap pertama lahan rimba. Penggarap berikutnya harus membayar hukuman adat yang disebut kerangahan beliung (lihat di bawah).
  3. Lahan yang diperoleh dengan membayar hukuman kerangahan beliung, yakni menjadi penggarap ke-2 dan ke-3 atas bawas bekas rimba (lihat di atas).
  4. Lahan yang dibeli dari warga se-kampung. Ini terutama berlaku pada masa sekarang.
  5. Lahan yang diperoleh sebagai pembayaran hukuman adat (denda adat yang dibayar dengan tanah).
Diluar kepemilikan atas tanah dan tanam-tumbuh, yang juga termasuk hak milik individu adalah seperti:
  1. Tempat memasang perangkap ikan di sungai, misalnya buangan/lumpatan atau pempambang di riam, tabaq tekalak, tabing, tabur atau bubuq di sungai kecil. Jika ada orang lain yang memasang perangkap di tempat yang telah dimiliki secara individu tersebut, maka dapat didenda dengan hukum adat.
  2. Tepian atau tempat pemandian di pondok ladang. Orang lain dilarang menuba di hulu sungai tempat pemandian tersebut tanpa ijin.
  3. Tempat memasang perangkap binatang di atas tanah seperti belantik dan lubang. Jika ada orang lain yang mengambil alih tanpa ijin, maka akan dikenakan hukum adat.
  4. Pohon madu tempat lebah bersarang (lalau) termasuk rampuk (sarang lebah dipohon tertentu), sarang burung tingang, penagung, kakah, ruiq, kekalau yang membuat lubang di pohon kayu sebagai sarangnya.
  5. Pohon belian yang telah ditebang. Meskipun sudah puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang bahkan sudah meninggal dunia, maka keturunannya masih memiliki hak atas pohon belian tersebut.
  6. Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen pertama kali.
  7. Pohon buah yang tumbuh liar di hutan dan telah ditandai.
  8. Harta warisan
2. Hak Milik Seketurunan
Yang termasuk hak milik seketurunan adalah dahas-dakar (pedahasan pada Dayak Jalai, tembawang, dll), kebun buah-buahan, kebun karet, rotan dll. Masih banyak hak seketurunan yang tidak berhubungan dengan tanah yakni tempat memasang perangkap ikan di sungai, tempat memasang perangkap binatang di atas tanah dan di atas pohon, pohon tempat lebah bersarang, pohon belian yang sudah ditebang, meskipun sudah puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang bahkan sudah meninggal dunia, maka keturunannya masih memiliki hak pohon belian tersebut. Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen pertama kali.
3. Hak Milik Umum atau publik
Yang termasuk hak milik umum/publik adalah tempat pemukiman, tempat berburu, tempat menangkap ikan di sungai (menjala, memancing dll), memulut, memasang jerat, membuah, tempat berladang, tempat keramat.

Bukti Kepemilikan

Karena masyarakat adat Dayak tidak mengenal tradisi tulisan, maka “dokumen” yang mereka miliki sebagai bukti kepemilikan atas wilayah adat adalah dalam bentuk fisik dan non-fisik.
Bukti Non-Fisik
  • Ceritera asal-usul dan kesaksian.
Bukti non-fisik biasanya dalam bentuk kesaksian-kesaksian serta ceritera asal-usul yang menyangkut suatu kawasan yang diklaim. Ceritera yang secara runtut dan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan serta dikuatkan oleh para saksi baik warga kampung maupun warga di luar kampung dapat dijadikan dasar bagi klaim atas suatu wilayah.
  • Pengelolaan.
Bukti non-fisik lainnya adalah pengelolaan yang dilakukan secara terus menerus terhadap kawasan tersebut. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan bukti mutlak. Sebab suatu kawasan yang tidak sedang diolah, tidak berarti tidak dikelola. Lokasi bekas ladang yang dibiarkan begitu saja merupakan salah satu bagian dalam sistem pengelolaan lokasi ladang. Oleh sebab itu, istilah “lahan tidur” yang diintrodusir untuk menyebut kawasan-kawasan perladangan yang tidak sedang dikerjakan, merupakan istilah yang salah kaprah dan menyesatkan, terutama bagi kalangan yang tidak memahami sistem pengelolaan wilayah adat yang berlaku pada msayarakat adat Dayak.
  • Penemu atau Penggarap Pertama.
Orang yang menjadi penemu pohon tertentu di hutan atau yang menjadi pemanen pertama, misalnya pohon tempat lebah madu bersarang, memiliki hak kepemilikan atas penemuannya tersebut. Hal ini berlaku pula bagi penemuan atas lokasi pemasangan perangkap binatang atau ikan di sungai. Kepemilikan dapat diperkuat dengan tanda-tanda tertentu berbentuk fisik agar orang lain mengetahui bahwa tempat tersebut telah ada pemiliknya. Terhadap lokasi berladang juga berlaku hak kepemilikan yang sama. Penggarap pertama kawasan rimba, memiliki hak atas lokasi tersebut meskipun selanjutnya tidak ditanami dengan tanaman keras.
  • Upacara Adat.
Ritual tertentu yang dilakukan terhadap sebuah kawasan dapat pula menjadi bukti atas hak yang dmiliki. Lahan yang dipudas yakni ritual yang dilakukan untuk memindahkan mahluk lain yang menjadi penghuni lahan tersebut, termasuk dalam kategori ini.
Bukti Fisik
Bukti fisik terdapat dalam berbagai jenis. Bukti yang paling penting adalah unsur-unsur yang merupakan hasil karya pemiliknya. Di bawah ini disebutkan beberapa bukti fisik tersebut;
  • Tanaman
Tanaman yang ditanam di atas kawasan yang dimiliki merupakan bukti yang sangat penting. Kepemilikan terhadap kawasan tersebut tergantung pada usia jenis tanaman yang ditanam. Oleh sebab itu, lahan bekas perladangan yang tidak ditanami dengan tanaman yang berusia lama seperti karet, rotan atau buah-buahan, akan habis kepemilikannya setelah tanaman yang ada di bekas ladang tersebut selesai di panen. Termasuk dalam hal ini adalah tanaman-tanaman selain padi seperti tebu dan umbi kayu yang akan selesai dipanen setelah 2-3 tahun berikutnya. Hak atas tanaman yang ditanam ini berlaku pula jika tanaman tersebut ditanam di atas tanah pribadi milik orang lain, tentu saja setelah melalui persetujuan kedua belah pihak. Pohon buah-buahan tertentu dapat diklaim kepemilikannya oleh orang yang menanam yang bukan pemilik tanah.
  • Tanda-Tanda Khusus
Bukti kepemilikan dapat pula dilakukan dengan memasang tanda-tanda tertentu pada obyek yang haknya telah dimiliki. Pohon tertentu yang tumbuh secara alamiah dan ditemukan di hutan dapat dipasang dengan tanda khusus misalnya dengan menjepitkan dua batang bambu masing-masing di sebelah kiri dan kanan sebagai bukti kepemilikan.
Tempat pijakan kaki ketika memanjat (jantak) yang dipasang pada pohon madu atau pohon dimana ada rongga tempat burung tertentu bersarang di atasnya, juga merupakan bukti kepemilikan yang sah. Tanda lain dapat berupa tanda penunjuk yang dibuat dari kayu yang dijepitkan pada sebatang bambu atau pohon untuk menunjuk ke arah obyek yang telah dimiliki haknya.
  • Konflik Internal & Penyelesaiannya
Berbagai konflik antar warga yang berkaitan dengan hak kepemilikan diselesaikan berdasarkan Hukum Adat yang berlaku. Konflik dengan warga dari kampung lain diselesaikan menurut tata cara Hukum Adat yang berlaku pada kampung yang warganya menjadi korban. Pada kasus yang menyangkut antar individu, penyelesaiannya diusahakan dengan cara internal sebelum dibawa ke sidang peradilan adat. Hal ini tidak berarti bahwa melalui sidang adat, perkara tidak bisa diselesaikan dengan cara berdamai

Contoh Pengelolaan Sumber Daya Alam pada Dayak Jalai

Masyarakat adat Dayak Jalai yang berada di Desa Tanggerang, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang, telah mengenal sistim pelestarian sumber daya alam di sekitarnya dan menjadi tradisi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pemanfaatan dan pelestrian sumber daya alam, masyarakat adat Dayak Jalai telah mengenal sistem ladang, rimbaq, tempat keramat, dan pekampungan.
1. Rasap Sebelum membuka ladang utama (lakau), jika dianggap perlu, orang Dayak Jalai biasanya membuka ladang kecil yang luasnya berkisar antara ½ - ¾ hektar yang disebut rasap. Rasap biasanya dikerjakan di atas lahan muda yang baru berumur antara 2-3 tahun, sehingga rasap tersebut cuma perlu ditakas, yakni ditebas belukarnya kemudian ditebang pohon bambunya. Karena usia lahan masih sangat muda, proses menebang tidak diperlukan. Rasap berfungsi sebagai lakau tambahan bagi pemiliknya.
Meskipun demikian, rasap ditanami dengan berbagai jenis tanaman sebagaimana layaknya sebuah lakau. Hanya saja, pada sebuah rasap proses ritual yang berlaku pada lakau tidak dilakukan kecuali baabuang hulat. Rasap juga biasanya hanya dikerjakan secara pribadi oleh keluarga penggarapnya. Meskipun biasa juga terjadi, namun pengerjaan sebuah rasap jarang melibatkan kerja gotong royong yang dikenal dengan istilah sambayan.
2.Pesapatan/Pererapat/Pesopingan Hutan diantara lakau mudaq dan lakau yang sedang digarap yang berfungsi sebagai hutan cadangan. Luasnya sekitar 25-20m diantara lakau mudaq dan lakau baru. Fungsinya sebagai cadangan untuk berbagai keperluan seperti kebutuhan akan kayu dan keperluan lainnya di lakau yang baru seperti bahan untuk membuat pondok, pagar, kandang ternak dlsb.
3.Ladang atau Lakau (Belakau Behumaq Betanam Betumbuh) Lakau atau ladang merupakan kegiatan ekonomi yang paling sentral karena dari ladanglah (belakau behumaq betanam betumbuh) semua bentuk pengelolaan kawasan berawal. Kebun karet, kebun buah-buahan, pedahasan, sampai pada komunitas baru yang terbentuk semuanya berawal dari sebuah lakau. Dalam membuka lahan untuk lakau, Dayak Jalai berpegang pada hukum adat dan tradisi yang berlaku.
Untuk mencari lahan yang cocok mereka terlebih dahulu mencari pertanda-pertanda seperti bunyi burung terutama burung Kuap, kijang atau rusa. Jika rusa berbunyi saat akan pergi menyandam, maka calon pemilik ladang tidak akan membuka lahan tersebut, mereka harus mencari lahan lain yang cocok. Jika sudah ditemukan lahan yang cocok, maka mereka akan memulai pekerjaan berladang. Jka pertanda tersebut baru muncul ketika ladang sudah dibakar, maka ladang tersebut tetap dilanjutkan pengerjaannya dengan mengadakan upacara adat Sesilih (upacara penebusan). Lokasi ladang yang pernah dijadikan tempat melahirkan Kukang dipercaya tidak baik untuk dijadikan ladang.
Pekerjaan yang pertama-tama dimulai yaitu menabas (membersihkan belukar dan pohon kecil), menyakat (menebang bambu) dan menabang (menebangi pohon-pohon besar). Pekerjaan menabas, menyakat dan menabang sengaja dilakukan secara berurutan agar belukar, bambu dan pohon yang ditebang dapat mengering secara merata sehingga tiba saatnya membakar, lahan bisa terbakar dengan sempurna.
Setelah sebulan atau lebih lahan ditebangi, maka pekerjaan berikutnya adalah mencucul (membakar). Menurut tradisi masyarakat setempat sebelum membakar, sekeliling ladang dibersihkan antara 3-5 meter dari hutan (diladangiq). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar api tidak merambat ke hutan dan kawasan sekeliling, bekas ladang yang telah ditanami karet maupun ke lokasi kebun karet yang produktif. Dalam pekerjaan membakar ini si pemilik ladang biasanya mengajak kawan-kawannya menjaga api agar jangan sampai merambat ke kawasan hutan atau kebun. Pembersihan dan pembakaran dalam penyiapan lahan dimaksudkan sebagai proses penyuburan tanah, sehingga hasil/kegiatan perladangan tidak mengalami kegagalan. Selain itu, pembakaran juga berfungsi untuk membasmi benih-benih rumput dan belukar yang dapat mengganggu tanaman padi kelak.
Dalam membuat ladang, orang Dayak Jalai juga melakukan upacara-upacara ritual seperti upacara Menyandam (upacara minta ijin kepada Duwataq/Penguasa alam semesta untuk memulai kegiatan berladang kembali), Menimbung (upacara menurunkan benih padi dari lumbung), Baabuang Hulat (upacara memohon kepada Sang Pencipta agar dapat mengusir hama dan penyakit yang dapat menyerang tanaman padi), Baansabatan (upacara adat yang dilakukan untuk membersihkan kampung dari segala kesalahan yang dibuat masyarakat terhadap tanah dan air, sehingga dengan dilaksanakan upacara ini ladang yang akan dibuat tahun depan bebas dari hama dan penyakit) dan Menjulang Atuq (upacara menyimpan padi dari rumah ke lumbung).
Ladang juga ditanam berjenis-jenis padi, sayur, ubi kayu, ubi jalar, tebu dll. Masyarakat menanam padi selain untuk mendapatkan hasilnya juga untuk memperbaharui berbagai jenis benih padi agar tidak punah. Dengan demikian sistem perladangan ikut pula menyelamatkan berbagai jenis padi lokal yang ternyata lebih unggul dari padi rekayasa genetika. Luas ladang biasanya berkisar antara 1-2 hektar.
4.Sawah (Payaq atau Leladak) Pengertian sawah (payaq/leladaq) pada masyarakat adat Dayak Jalai berbeda dengan sawah seperti yang ada di pulau Jawa. Payaq tidak mengenal penggunaan zat kimia dan pengerjaannyapun dilakukan secara manual. Proses pengerjaan sebuah payaq biasanya dimulai dengan menabas, mencucul, memancah/memapat (memotongi rumput-rumputan atau belukar sisa pembakaran) dan meabur (menabur benih padi) atau menandur (menanam benih padi yang sudah disemaikan terlebih dahulu).
Payaq letaknya bisa terpisah sama sekali dari lakau atau bersatu dengan sebuah lakau jika lakau tersebut kebetulan berada di dataran rendah dan terdapat sebuah payaq di dekatnya.
Sistem kepemilikan terhadap sebuah payaq sama dengan sebuah lakau. Namun karena sebuah payaq tidak mungkin ditanami dengan tanaman keras, maka pada jaman dahulu kala sebuah lahan payaq bisa saja digarap oleh penggarap lain sejauh ada ijin terlebih dahulu dari penggarap sebelumnya. Pada masa sekarang dimana lahan semakin sempit, payaq cenderung menjadi milik pribadi seseorang yakni penggarap sebelumnya.
5.Kebun (Kabun Pesasaq) Kabun Pesasaq adalah segala jenis kebun yang ditanami dengan tanaman keras selain buah-buahan. Termasuk di dalamnya adalah kebun karet, kebun rotan, kebun kopi dlsb.
6.Kebun Buah-Buahan (Kampung-Kayuan) Kampung Buah adalah kawasan yang berisi berbagai jenis pohon buah-buahan peninggalan generasi sebelumnya. Kawasan ini dilindungi oleh adat sebab selain berisi berbagai jenis pohon buah-buahan, kawasan ini juga merupakan tempat hidup bermacam-macam jenis tumbuhan lainnya serta berbagai jenis binatang. Selain itu juga karena hutan ini biasanya berada di hulu sungai dan di bukit-bukit maka hutan ini juga berfungsi untuk menahan air. Kampung buah adalah kawasan yang dilindungi, karena itu masyarakat tidak boleh menggunakannya untuk areal ladang. Pada saat sekarang, dimana kampung buah semakin langka, bahkan menebang pohon buah milik pribadi juga ada sanksi adatnya.
'7.Tempat Keramat Tempat keramat merupakan tempat yang dipercayai sebagai tempat yang suci. Di tempat ini masyarakat adat Dayak Jalai biasanya berhubungan dengan Duataq (Penguasa langit dan bumi) dan arwah-arwah nenek moyang. Kawasan ini biasanya ditunjukkan dengan adanya tempat meletakkan berbagai persembahan yang terbuat dari bambu yang disebut rerumahan ancak.
Tempat keramat ini juga termasuk kawasan adat yang dilindungi oleh masyarakat, karena itu tempat ini tidak boleh dijadikan areal ladang atau diambil kayunya. Bila ada anggota masyarakat yang berani merusak kawasan tersebut maka ia akan dikenakan denda hukum adat yang berat. Selain itu, dipercayai juga bagi anggota masyarakat yang berani mengganggu kawasan ini akan mendapatkan malapetaka seperti sakit atau bahkan mati. Oleh sebab itu, dalam membakar ladang misalnya, masyarakat akan berusaha sekuat tenaga agar api tidak sampai merembet dan memusnaskah kebun dan tempat keramat mereka. Tempat keramat masyarakat Dayak Jalai ada bermacam-macam. Keramat yang paling utama dan dihormati oleh semua orang Dayak Jalai baik yang tinggal; di sepanjang Sungai Kiriq maupun di Sungai Jalai adalah Limpang Sayang Gajah Singit Tangga Batuq atau Gunung Limpang yang terdapat di dekat kampung Benatuq. Keramat ini sangat dihormati dan menjadi tempat orang bekaul-beniat dan bertapa untuk memperoleh kesucian atau permohonan tertentu. Tempat Keramat yang Terkenal adalah Gunung Limpang di dekat kampung Benatuq, Bulian Pemaliq dan Batuq Perapat Bunuh di Tanjung.
8.Pusat Kegiatan Pertanian (Dahas-Dakar) Pedahasan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi berjenis-jenis pohon buah-buahan dan pohon-pohon lainnya yang bermanfaat. Pedahasan merupakan kawasan independen milik salah satu warga kampung yang menjadi pusat kegiatan ekonomi pemiliknya. Karena itu, pedahasan biasanya menjadi tempat pemukiman kedua bagi sebuah keluarga di kampung sehingga di pedahasan terdapat pula rumah semi permanen yang didirikan untuk tempat bermalam bila keluarga yang bersangkutan terpaksa harus menginap di dekat ladangnya. Karena pedahasan merupakan tempat pemukiman alternatif, maka biasanya binatang-binatang peliharaan juga terdapat di pedahasan termasuk kolam ikan serta kebun karet yang ditanam dari bekas ladang tahun-tahun sebelumnya.
Konsep pedahasan ini semakin membuktikan bahwa masyarakat Dayak, terutama Dayak Jalai, tidak mengenal istilah ladang berpindah sebab mereka justru cenderung menetap di suatu kawasan pedahasan mereka dan melakukan kegiatan berladang di lokasi tersebut secara berrotasi dan berintegrasi dengan kegiatan lainnya. Sehingga tepatlah kiranya jika kegiatan masyarakat tersebut disebut Integrated Indigenous Farming System. Pedahasan sendiri jarang ditinggalkan (abandoned) oleh pemiliknya kecuali dia telah meninggal dunia dan keturunannya memilih lokasi perladangan di tempat lain, dan dengan demikian mendirikan pedahasan baru. Sebuah pedahasan, setelah beberapa generasi pemilik maupun keturunannya sudah tidak diketahui lagi bisa menjadi kampung dan milik seluruh warga.
9.Tempat Berburu dan Menangkap Ikan (pekarang pejaluq-an) Keberadaan hutan dan sungai yang terjaga kelestariannya memegang peranan yang penting dan sangat Vtal bagi orang Dayak Jalai. Kehidupan mereka yang subsisten, sangat tergantung pada keutuhan sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Kemampuan alam dalam menopang kehidupan masyarakat ini menentukan keutuhan sistem pengelolaan sumber daya alam yang telah mereka praktikkan selama ini dan terbukti mampu menjaga kelestarian dan keutuhan sumber daya alam yang ada. Bilamana keutuhan alam ini terganggu akibat masuknya berbagai proyek pembangunan yang merusak seperti perkebunan besar, HPH, HTI, Pertambangan dan Transmigrasi, maka sistem penyangga dan penopang kehidupan ini akan turut hancur sehingga memaksa masyarakat untuk mencari alternatif sumber penghasilan agar dapat menutupi kebutuhan yang sebelumnya diperoleh dari alam secara gratis. Dalam banyak kasus, alternatif tersebut tidak selamanya bersahabat dengan alam, apalagi jika alternatif lain sungguh sudah tidak tersedia lagi. Beberapa usaha yang terpaksa dipilih oleh masyarakat bisa berupa: mengolah bahan bangunan dari kayu di hutan dengan alat-alat yang berdaya rusak tinggi seperti chainsaw, mendulang emas dengan mengandalkan instink. Usaha-usaha tersebut umumnya dilakukan bilamana ada orang luar yang datang dan mengajak serta menyediakan modal.
Bagi orang Dayak Jalai, menangkap binatang liar-pun sebenarnya ada adat dan aturannya. Selain di hutan rimba yang jauh dari perkampungan, masyarakat juga dapat berburu di pedahasan dan bawas penduduk lainnya asalkan ada pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini penting untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi misalnya terkena perangkap yang dipasang oleh pemilik dahas atau ladang. Jika terjadi korban akibat perangkap yang dipasang seseorang, maka hukum adat tetap berlaku sebagaimana biasanya. Dalam hal ini jika si korban tidak sampai meninggal dunia tetapi hanya terluka, maka peradilan adat baru diadakan ketika si korban telah sembuh dari lukanya agar para tetua adat dapat mempertimbangkan secara tepat segala kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut. Hukumannya biasanya antara 6 Lasaq atau 8 Lasaq ditambah Genggalang berupa piring dan kepala Genggalang berupa sebuah tempayan (= 2 buah piring) atau labah (= 1 buah piring), karena ini adalah adat tanggul (jika sampai meninggal dunia, 15 Lasaq jika korban perempuan dan 10 Lasaq jika korban laki-laki, lihat di bawah).
Untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi, seseorang yang memasang belantik di hutan wajib mengumumkan kepada warga kampungnya mengenai letak belantik yang dia pasang. Dan ke arah belantik tersebut di pasang tanda berupa penunjuk dari kayu dengan tanda tertentu yang mengidentifikasikan bahwa di arah tersebut ada dipasang belantik. Meskipun demikian, jika tetap terjadi juga kecelakaan karena kelalaian orang lain yang tidak mengindahkan tanda-tanda tersebut dan terjadi kecelakaan, maka hukum adat tetap diberlakukan kepada si pemilik belantik.
Khusus untuk belantik, tidak boleh dipasang di kebun ubi orang lain karena akan terkena hukum adat, meskipun kegiatan berburu misalnya diperkenankan. Sebaliknya memasang belantik di bekas belantik orang lain juga tidak boleh dilakukan tanpa ijin. Jika melanggar, hukuman untuk kedua kasus ini adalah Limabalas Diatas. Salah satu alasannya adalah dalam hal pertanggungjawaban jika terjadi kecelakaan.
Perangkap yang diperkenankan untuk dipasang di mana saja adalah yang disebut tagang atau jirat (membuat pagar di hutan kemudian dipasangi jerat), meskipun jika dipasang di kebun milik orang lain harus meminta ijin terlebih dahulu. Yang sama dengan tagang adalah penjuai, talung, dan turau karena tidak terlalu berbahaya bagi manusia.
10.Tempat dan Pola Pemukiman (Benuaq) Pemukiman orang Dayak Jalai disebut Benuaq yang merupakan pemukiman utama. Pemukiman kedua adalah Dahas yang terletak jauh dari Benuaq dan dekat dengan berbagai usaha yang dilakukan oleh keluarga.
Secara umum, orang Dayak Jalai sudah lama meninggalkan tradisi hidup di rumah panjang. Satu-satunya rumah panjang yang tersisa dalam ingatan orang Dayak Jalai adalah yang berada di kampung Semenjawat dan Pasir Lingis, yang sekali lagi terpengaruh oleh kedekatan jarak mereka dengan daerah Dayak Delang di Kalimantan tengah.
Meskipun tradisi rumah panjang telah lama punah, namun arsitektur rumah tradisi orang Dayak Jalai mengadopsi unsur-unsur yang terdapat dalam rumah panjang yakni unsur keamanan, kesehatan dan kebersamaan. Rumah tersebut didirikan sekitar 3 meter dari permukaan tanah dengan tangga 3 tingkat. Dapurnya terletak di bagian depan rumah, tidak dibelakang seperti dapur yang ada sekarang. Badan rumah mengikuti bentuk lumbung (Jurung) yang masih cukup banyak ditemukan dalam komunitas Dayak Jalai saat ini. Bentuk tersebut mengikuti bentuk segi lima dengan dinding kedua sisi rumah melebar ke atas (tidak tegak lurus seperti rumah sekarang). Interior rumah tidak bersekat, sehingga rumah tersebut lebih mirip seperti sebuah aula pertemuan yang besar. Rumah-rumah seperti ini tidak ada lagi sekarang.
11.Kuburan (Pandam-Pasaran, Benuaq Lamaq) Pada awalnya, lokasi kuburan orang Dayak Jalai yang berdiam di kampung Tanjung dan sekitarnya terbagi-bagi dalam beberapa kelompok yang merupakan kuburan keluarga. Beberapa lokasi kuburan tua terletak di Kampas, Hibul, Sitarah, Penjerangauan, Biruq (yang digunakan sebagai lokasi kuburan sekarang).
Uraian di atas sudah cukup mewakili sistem pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak secara umum. Namun ada satu hal lagi yang belum terurai yakni konservasi ala masyarakat adat Dayak. Kata konservasi terpaksa dipakai mengingat dalam peraturan perundang-undangan di dunia dan Indonesia hampir tidak mengakomodir “konservasi hutan” yang dilakukan oleh masyarakat adat. Contoh kasus di bawah ini mestinya bisa diakui dan terakomodir dalam undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Contoh Konservasi ala Masyarakat Adat Dayak (Dayak Kodatn di Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau)

Di tengah hingar-bingar dunia internasional sibuk mau menyelamatkan hutan dan tersistematisnya pola yang dilakukan, terkadang lupa dengan inisiatif yang telah dilakukan oleh masyarakat adat. Jikapun ingin menyelamatkan hutan, para aliran konservatif penyelamat hutan, melulu hanya memikirkan hutan semata tanpa memperhatikan kehidupan manusia yang ada di sekitarnya. Sehingga muncullah konflik antara pihak luar dengan masyarakat lokal yang sesungguhnya sudah jauh lebih dulu menghuni dan mengelola sekitar wilayah hutan yang dijadikan taman nasional.
Di satu sisi, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak mengakomodir konservasi yang dilakukan oleh masyarakat. Yang diakui hanya Taman Nasional, Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Buru. Jarang ditemukan konservasi yang dilakukan atas inisiatif sebuah kampung diakui oleh pemerintah. Konservasi rakyat dianggap tidak ada, tidak diperhatikan atau malah kawasannya dihancurkan atau dicaplok.
Padahal, jika kita melihat pola penyelamatan dan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sangat arif. Dari tahun ke tahun meskipun mereka berladang dan dituduh sebagai perambah hutan, nyatanya hutan mereka tetap lestari. Hal ini didukung oleh kearifan lokal yang biasanya menyediakan kawasan hutan untuk cadangan yang sering disebut sebagai hutan adat atau hutan tutupan dan atau dengan nama lain sesuai suku masing-masing.
Salah satu contoh menarik yakni dari masyarakat adat Dayak Kodatn yang tinggal di Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Bahkan mereka kini mempunyai tulisan lengkap berupa buku tentang hutan adat mereka. Judulnya Kearifan Lokal Masyarakat Sanjan dalam Mengelola Hutan Adat Tomawakng Ompu'.
Sekitar tahun 1930-an, seorang tetua di Kampung Sanjan yang bernama Kakek Bok mengajak masyarakat di sana untuk tidak berladang di kawasan dekat kampung. Ajakan Kakek Bok ini kemudian diikuti oleh semua masyarakat saat itu, sehingga menjadi sebuah kesepakatan bersama untuk tidak berladang di dekat kampung. Sepeningalan Kakek Bok, diberikanlah kepercayaan kepada Kakek Panyi untuk menjaga rimma ompu' atau pulo ompu' ini. Rimma ompu' atau pulo ompu' berarti kawasan rimba kampung atau pulau kampung.
Kemudian pada tahun 1950, pengelolaan hutan diserahkan kepada seorang Domong yang bernama Pateh Anom Ating. Dibawah kepengurusan Domong Ating ini, maka pada tahun 1953 dilakukanlah penataan batas hutan. Pada saat ini juga dibuat beberapa kesepakatan kampung tentang pengelolaan kawasan hutan tersebut. Pada masa itu juga dibentuk kepengurusan kampung, termasuk juga kepengurusan hutan adat. Hingga saat ini, kepengurusan hutan adat Kampung Sanjan telah mengalami beberapa kali pergantian. Tahun 2009-sekarang, ketuanya Loteus, sekretaris, Jambi dan bendaharanya Piyot.
  • Potensi Hutan Adat
Berdasarkan eksplorasi bersama masyarakat setempat, hutan adat Tomawakng Ompu’ ini memiliki potensi yang besar baik itu berupa jenis vegetasinya yang beraneka ragam, juga terdapat berbagai jenis hewan. Dari jenis-jenis yang ada dalam kawasan hutan ini memang ada beberapa yang keberadaannya sudah sangat langka. Berdasarkan inventarisir yang dilakukan warga setempat, ada sekitar 173 jenis vegetasi yang ada di dalam kawasan hutan Adat Tomawakng Ompu'. Kemudian ada sekitar 49 jenis binatang, juga terdapat sekitar 22 jenis ular, dan sekitar 65 jenis burung. Masih banyak jenis hewan lainnya yang merupakan penyusun ekosistem kawasan hutan ini seperti jenis serangga, kodok, kupu-kupu dan sebagainya.
  • Hukum Adat Pengelolaan Hutan
Masyarakat adat Dayak Kodatn di Sanjan telah mengenal dan memiliki aturan atau hukum adat yang mengatur berbagai hal mengenai pengelolaan kawasan hutan di wilayah mereka. Hukum adat ini masih berbentuk lisan, namun hal itu tidak mempengaruhi penerapannya.
Dalam sistem hukum adat masyarakat adat Dayak Kodatn di Sanjan ini diatur perihal pemanfaatan sumberdaya hutan. Ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama terkait pengelolaan hutan adat ini yaitu:
  1. Hutan tidak boleh diladangi.
  2. Dalam kawasan hutan tidak boleh ditanami tumbuhan untuk pribadi/perorangan.
  3. Hasil hutan berupa kayu, rotan, damar, jenis anggrek dan lainya tidak boleh dijual keluar untuk kepentingan pribadi.
  4. Orang luar tidak diperkenankan memetik hasil hutan yang ada.
  5. Menebang pohon hanya untuk ramuan rumah, sesuai dengan kebutuhan.
  6. Tanaman milik pribadi dalam kawasan hutan boleh digarap oleh pemiliknya. Tanahnya menjadi milik komunal, kecuali kebun karet, kebun tengkawang,
kebun nyatu’ yang ditanam sebelum kawasan itu dietapkan sebagai Rimma Ompu'. Pelanggaran terhadap aturan ini akan di kenakan adat tiga tail. Adat tiga tail ini terdiri atas 66 buah mangkok tanah (1 tail = 22 buah mangkok), babi 5 tokah (sekitar 25 kg), beras 25 kilogram, tuak satu tempayan dan ayam laki bini (2 ekor betina dan 1 jantan). Hal yang sama pula akan ditimpakan pada seseorang yang membakar ladang atau lahan dan apinya menjalar dan mengenai lahan orang lain.
Dalam kasus penerapan hukum adat terhadap pelanggaran yang dilakukan, contoh menarik dikemukakan oleh Lubu', tetua adat setempat. Berikut ini penuturannya:
”Saya dulu jadi ketua kampung. Datang orang dari Kampung Makuk ke sini cari kayu garu. Saya khilaf, lalu saya antar mereka ke hutan, lalu dapat satu batang garu dan mereka tebang. Nah setelah beberapa lama, ada yang tanya kenapa Pak Lubu' nyuruh mereka nebang pohon itu? Itu kan ndak boleh. Baru saya ingat, dulu kan saya yang melarang. Apa boleh buat, di pinta adat, lalu saya bayar sesuai ketentuan yakni adat tiga tail. Itu pelajaran bagi saya. Kalau masyarakat melanggar, harus dihukum juga, karena saya sudah beri contoh”.
Selain itu, Lubu' yang mantan ketua hutan adat ini juga berpesan bahwa orang tua jaman dulu tidak sekolah tapi bisa memikirkan tentang hutan itu untuk melindungi manusia, itulah yang pertama untuk melindungi karena kayu itu jantung dunia. Ia juga mengatakan, meskipun ia tidak lagi menjadi ketua hutan adat, selama ia masih hidup jangan coba-coba merombak hutan itu, sebab semuanya warisan dari nenek moyang jaman dulu dan harus dijaga.
Lain halnya dengan Suden (60) mantan ketua hutan adat tahun 1978. Ia menuturkan bahwa dulu belum banyak manusia, mudah mengaturnya. Seharusnya kesepakatan tentang pengaturan hutan adat itu ditinjau setiap tahun.
Berkaitan dengan hak kaum perempuan atas pengelolaan hutan adat ini, perannya cukup penting. Sebab hak perempuan sama dengan hak laki-laki. Sia (65) dan banyak kaum perempuan yang sudah berumur, selalu aktif dalam setiap pertemuan kampung membahas persoalan hutan adat ini.
Dalam perjalanannya, telah terjadi beberapa kali pelanggaran terhadap ketentuan tersebut oleh warga Sanjan sendiri. Yaitu pada kurun waktu 1966-1973, kemudian pada tahun 2000 dan 2001 dan yang terakhir terjadi pada tahun 2003. Dan untuk pelanggaran ini, sesuai kesepakatan, di ganjar sanksi adat tiga tail. Kini, hutan adat mereka sudah dipetakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sanggau dan tinggal menunggu waktu untuk proses penetapannya melalui surat keputusan bupati agar masuk dalam tata ruang Kabupaten Sanggau.

Penutup

Memelihara, menjaga dan mengelola hutan beserta sumber daya alamnya, bukanlah pekerjaan baru bagi masyarakat adat. Tetapi pemerintah masih setengah hati untuk mengakuinya. Padahal, dalam pertemuan internasional di Lombok (Juli 2011), Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmen untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat yang bermukim di sekitar dan dalam hutan melalui, “pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak dan kearifan Masyarakat Adat”. Pemerintah Indonesia setuju untuk bekerja lebih dekat dengan masyarakat adat dalam mengembangkan dan mengimplementasikan strategi baru di tingkat nasional untuk menjamin hak-hak atas tanah dan akses kepada Sumber Daya Alam pada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan yang diperkirakan mencapai luas hutan 130 juta hektar di seluruh Indonesia. Komitmen itu juga didukung oleh pemerintah Indonesia melalui rencana perubahan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam Seminar tentang ICAAs (Indigenous peoples’ and local communities conserved territories and areas) di CIFOR, Bogor tanggal 13-14 Oktober 2011 lalu, pihak Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) yang diwakili salah seorang stafnya, Sondang, mengatakan bahwa Dirjend PHKA akan segera mengusulkan perubahan Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan targetnya disahkan tahun 2012. Dalam undang-undang yang baru nanti, konservasi berdasarkan inisiatif masyarakat adat dan komunitas lokal akan diakui.
Grazia Borrini-Feyerabend asal Swiss selaku konsorsium ICCA-berharap inisiatif yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat di seluruh dunia agar diakui oleh pemerintah masing-masing negara karena instrumen hukum internasional dan nasional sudah mengakuinya.
Kalangan konservasi konservatif mulai serius memperhatikan inisiatif lokal ini pada Kongres Taman Dunia di Durban, Afrika Selatan tahun 2003. Saat kongres di Durban itu, ICAAs didefenisikan oleh World Conservation Union (IUCN) sebagai “…ekosistem asli atau yang terpengaruh oleh kegiatan manusia yang memiliki keunggulan dan kekayaan secara keanekaragaman hayati, sebagai penyedia jasa lingkungan atau memiliki nilai budaya dan tradisi yang tinggi sehingga masyarakat melindunginya secara efektif melalui hukum adat dan praktek/kearifan lokal …”.
Pertanyaannya, akankah ICAAs diakui seutuhnya dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang integratif seperti yang dilakukan masyarakat adat Dayak. Bukankah stigma seperti litani pada bagian pembuka tulisan ini masih terus menggema? Barangkali peringatan Charles Brooke berikut ini patut menjadi refleksi kita bersama:
"I beg you to listen to what I have to say, and that you will recollect my words... Has it ever occurred to you that after my time out here others may appear with soft and smiling countenances, to deprive you of what is solemnly your right that is, the very land on which you live, the source of your income, the food even of your mouth? … you will lose your birthright, which will be taken from you by strangers and speculators who will, in their turn, become masters and owners whilst you yourselves, you people of the soil, will be thrown aside and become nothing but coolies and outcasts of the island” (Charles Brooke, The 2nd White Rajah of Sarawak, 1915, Colchester: 1993) “Ku mohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik….Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak ada di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah lembutan untuk merampas apa yang sesungguhnya menjadi hakmu –yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makanan yang ada di mulut mu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apa pun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini”
Kita berharap, apa yang diungkapkan oleh Charles Brooke tidak terjadi dan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal bisa diterima semua kalangan sehingga mereka tidak menjadi kuli di tanahnya sendiri.
Referensi
  • Bamba, John, Dayak Jalai Di Persimpangan Jalan. Institut Dayakologi, Pontianak, cetakan ke 2, 2010.
  • Majalah KR, edisi 196, Desember 2011.
  • Payne, 1960 dalam Marcus Colchester dalam Global Ecology and Biogeography Letters Vol. 3, No. 4/6, The Political Ecology of Southeast Asian Forests: Transdisciplinary Discourses (Jul. - Sep. - Nov., 1993), p. 158.
  • Lubu' (71), diwawancarai di rumahnya Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau, 5 Juli 2011, diijinkan untuk dikutip.
  • Suden (60), diwawancarai di rumahnya Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau 5 Juli 2011, diijinkan untuk dikutip.

0 komentar:

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

About Me

Flag Counter

Blog Archive

Pages

Powered By Blogger

My Blog List

\Get snow effect

Followers