I made this widget at MyFlashFetish.com.

Etiam placerat

PENGELOLAAN SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

PENGELOLAAN SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

April 8, 2011
1. Pendahuluan
Kalimantan Tengah merupakan salah satu di antara beberapa propinsi di Republik Indonesia yang memiliki cadangan sumber daya mineral dan energi yang tinggi. Karena itu industri pertambangan adalah industri yang sangat diharapkan mampu menjadi motor penggerak pembangunan di Propinsi Kalimantan Tengah. Namun sering kali terjadi negara-negara yang kaya akan sumber daya mineral dan energi menunjukkan tingkat perekonomian dan pembangunan yang kurang dibandingkan negara yang tidak memiliki banyak cadangan mineral dan energi. Fenomena ini diungkapkan dan diteliti dalam “Resource Curse Theory” atau teori kutukan sumber daya. Karena itu sangat penting bagi Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk dapat mengelola sebaik-baiknya sumber daya mineral dan energi dimilikinya agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat di bumi Isen Mulang baik bagi generasi saat ini maupun yang akan datang.
Makalah ini akan di mulai dengan melihat cadangan mineral dan batubara yang terestimasi di daerah Kalimantan Tengah. Teori “resource curse” kemudian dibahas secara lebih rinci yang kemudian dilanjutkan dengan tinjauan tentang praktik penambangan berkelanjutan sebagai salah satu cara agar tidak terjebak di dalam fenomena “resource curse”. Ini kemudian dilanjutkan dengan pemaparan strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan energi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah.
2. Cadangan Mineral dan Energi di Kalimantan Tengah
Data sumber daya mineral dan energi yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah diberikan di Tabel 1 dan 2. Beberapa situs website memuat potensi cadangan didata oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Tengah. Data sumber daya batubara yang ada cukup detil namun data sumber daya mineral sangat minimal. Dapat kita lihat bahwa potensi cadangan mineral dan batubara yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah sangat besar.
Sampai tahun 2008 Pemerintah Daerah telah memberikan izin usaha pertambangannya untuk sebanyak 5 KK (Kontrak Karya), 15 buah PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan 247 KP (Kuasa Pertambangan) dengan total luas areal pertambangan yang mencapai 4,3 juta hektar.
Tabel 1. Sumber Daya Batubara di Propinsi Kalimantan Tengah (ton)
Kabupaten Tereka Tertunjuk Terukur Jumlah per kabupaten
Murung Raya 1.370.136.098 189.882.090 279.897.108 1.839.915.296
Barito Utara 374.157.747 527.537.704 607.068.538 1.508.763.988
Barito Timur 68.298.389 71.515.732 40.077.754 179.891.875
Barito Selatan 51.507.530 60.542.123 22.936.958 134.986.611
Kapuas 372.989.580 188.370.884 123.725.358 685.085.822
Kotawaringin Barat - 306.334.795 104.294.417 410.629.212
Kotawaringin Timur 17.400.000 - - 17.400.000
Katingan 17.485.491 - - 17.485.491
Gunung Mas 21.540.000 - - 21.540.000
Jumlah 2.293.514.835 1.344.183.328 1.178.000.133 4.815.698.295 (Total)
Sumber: http://kaltengmining.com/Halaman Utama.htm
Tabel 2. Sumber Daya Mineral dan Bahan Galian Industri di Propinsi Kalimantan Tengah (ton)
Bahan Galian Terindikasi Terukur
Kaolin 47.935.156 21.663.404,5
Pasir kuarsa 75.400.000 14.955.000
Fosfat 60.386 -
Batu gamping 545.713.080 -
Kristal kuarsa - -
Emas - -
Intan - -
Batuan beku/Batu belah - -
Biji besi - -
Timah hitam - -
Tembaga - -
Air raksa - -
Zircon - -
Sumber: http://www.kalteng.go.id/
3. Teori Kutukan Sumber Daya (Resource Curse Theory)
Populasi manusia yang terus meningkat mengindikasikan bahwa permintaan akan hasil mineral dan energi (batubara) akan terus berlanjut. Ini menunjukkan bahwa industri pertambangan dapat menjadi tulang punggung bagi pengembangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu wilayah.
Namun pengalaman dari beberapa negara berkembang sepanjang dua dekade terakhir ini banyak menunjukkan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya mineral dan energi (contohnya Peru, Zambia, Nigeria, Sierra Leone) justru mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara yang miskin akan sumber daya mineral dan energi (contohnya Taiwan dan Korea Selatan). Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang ditemukan berkorelasi negatif dengan jumlah sumber daya mineral dan energi yang dimiliki oleh negara-negara tersebut yang kemudian dikenal dengan fenomena “resources curse”  (Auty, 1993; Stijns, 2007; Rosser, 2006).
Selain tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, hal-hal negatif dari fenomena “resources curse” juga ditunjukkan melalui adanya konflik-konflik sosial dan budaya, ketimpangan ekonomi di dalam komunitas masyarakat, rendahnya partisipasi dan manfaat bagi penduduk lokal serta hilangnya lapangan pekerjaan pada saat cadangan berakhir yang kemudian ditambah lagi dengan kerusakan sistem ekologi dan pencemaran lingkungan yang harus dialami dan diperbaiki oleh masyarakat lokal dan generasi-generasi sesudahnya.
Rosser (2006) menunjukkan bahwa meskipun kekayaan sumber daya sering terkait dengan pembangunan yang buruk namun bukan berarti itu yang menjadi penyebab utamanya melainkan lebih pada kondisi politik, sosial dan ekonomi di negara/daerah tersebut. Industri mineral sangat tergantung (dan juga memberi dampak berarti) pada empat bidang yaitu ekonomi, lingkungan, masyarakat dan tata pemerintahan yang baik (good governance) (MMSD, 2002; Richards, 2005). Selama ini industri pertambangan memiliki catatan kurang baik terutama dari segi lingkungan dan hubungan dengan masyarakat. Tata pemerintahan yang baik menjamin distribusi dan pemanfaatan yang baik dari pendapatan pajak dan royalti pertambangan. Negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam cenderung memiliki pemerintahan dan institusi publik yang lemah dan tidak efisien di mana praktik-praktik korupsi juga sering terjadi.
Beberapa peneliti mencoba mengidentifikasi penyebab terjadinya fenomena kutukan sumber daya ini yang antara lain sebagai berikut: (i) meningkatnya pendapatan negara dengan tingginya ekspor hasil sumber daya alam menyebabkan apresiasi nilai tukar uang yang pada akhirnya menurunkan produksi barang manufaktur (Ducth disease); (ii) harga produk di pasar yang tidak stabil dapat menimbulkan beban berat untuk membayar utang; (iii) pendistribution keuntungan yang lebih terfokus pada pembelanjaan dan kurang pada pengawasan dan regulasi ekonomi (Auty, 1993; Rosser, 2006).
4. Industri Pertambangan Berkelanjutan
Prinsip pertambangan berkelanjutan merupakan bagian dari prinsip pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan dalam Bruntland Report sebagai berikut: “pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri” (WCED, 1987).
Pada kenyataannya implementasi dari prinsip pembangunan berkelanjutan di bidang mineral dan energi (tak terbarukan) tidaklah mudah. Dengan pertimbangan bahwa sumber daya mineral dan energi sifatnya terbatas/tidak terbarukan (finite/non-renewable resources), ada dua pandangan yang berbeda dalam melihat pembangunan berkelanjutan di bidang mineral dan energi tak terbarukan: ekosentris dan teknosentris (Shield dan Solar, 2005). Pandangan ekosentris berdiri pada argumen keberlanjutan yang kuat (strong sustainability) di mana yang paling ekstrim melarang segala bentuk pertambangan. Di sisi lain pandangan teknosentris berdiri pada argumen keberlanjutan yang lemah (weak sustainability) dengan pandangan paling ekstrim memperbolehkan usaha pertambangan di mana saja dan dengan cara apa saja asalkan hasil yang diperoleh dinvestasikan kembali untuk menciptakan bentuk sumber daya dan modal yang lain untuk kesejahteraan masyarakat.
Perbedaan mendasar dari dua paham pembangunan berkelanjutan ini terletak pada cara memandang keterkaitan sumber daya alam dengan sumber-sumber daya buatan manusia. Di dalam paham strong sustainability, sumber daya alam tidak dapat digantikan oleh sumber-sumber daya buatan manusia, sementara di dalam paham weak sustainability, sumber daya alam dapat digantikan oleh sumber-sumber daya buatan manusia (Tietenberg, 1996). Paham weak sustainability didasari oleh aturan Hartwick-Solow yang menyatakan secara jelas bahwa suatu perekonomian akan berkelanjutan jika total kekayaan sumber dayanya (alami dan buatan) tidak berkurang (Lange and Wright, 2002). Ini berarti berkurangnya jumlah sumber daya alam dapat dikompensasi dengan bertambahnya sumber-sumber daya buatan manusia sehingga total aset tidak berkurang.
Industri pertambangan bahan mineral dan energi sifatnya tidak terbarukan dapat yang dilakukan secara berkelanjutan dengan mengambil posisi lebih banyak di paham weak sustainability. Dalam kerangka pertambangan berkelanjutan berkurangnya cadangan mineral dan energi harus disubstitusi dengan bertambahnya sumber-sumber daya lain. Hasil eksploitasi dari sumber daya mineral dan energi harus dapat ditransformasi menjadi sumber-sumber daya manusia (human), keuangan (financial) dan barang-barang manufaktur. Dengan demikian industri pertambangan dapat bersifat berkelanjutan tidak hanya dengan menyediakan kebutuhan masyarakat akan satu produk tetapi juga menciptakan mata pencaharian yang sifatnya berkelanjutan (Hobbs, 2005).
Pada kenyataannya ada sumber-sumber daya alam tertentu yang tidak tergantikan perannya dalam ekosistem dan harus dipertahankan contohnya keanekaragaman hayati dan fungsi hutan sebagai penyangga daerah aliran sungai. Dengan demikian industri pertambangan berkelanjutan merupakan kombinasi dari paham weak sustainability dan strong sustainability.
Beberapa peneliti mengajukan tiga dimensi dari pembangunan berkelanjutan yaitu: keberlanjutan ekonomi (economical sustainability), keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability), dan keberlanjutan sosial (social sustainability) (Bhagwat, 2005; Richards, 2005). MMSD (2002) kemudian menyatakan bahwa tata pemerintah yang baik (good governance) merupakan satu dimensi tambahan yang penting untuk dapat menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Implementasi dari dimensi-dimensi pertambangan berkelanjutan di atas harus dilakukan secara terintegrasi dan akan dibahas pada sub-sub bab di bawah ini.
4.1 Aspek Ekonomi
Ditinjau dari sisi keberlanjutan ekonomi, industri pertambangan harus mampu memaksimalkan kesejahteraan masyarakat, memanfaatkan semua bentuk sumber daya secara efisien, memasukkan semua biaya termasuk biaya lingkungan dan sosial dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk terciptanya diversifikasi usaha dalam perekonomian satu daerah (MMSD, 2002).
Aturan Harwick dan Solow menyatakan bahwa perekonomian yang berkelanjutan dari suatu pembangunan yang berbasis sumber daya alam tidak terbarukan harus mampu mentransformasi kekayaan sumber daya alam tersebut ke dalam bentuk-bentuk kekayaan yang lain. Kemampuan ini sangat tergantung pada tiga faktor: (i) kebijakan yang menekankan efisiensi dalam proses pemanfaatan satu SDA sehingga dapat diperoleh keuntungan maksimum yang sesuai dengan nilai berkurangnya SDA tersebut; (ii) pengumpulan hasil keuntungan oleh instansi terkait secara bertanggung jawab; dan (iii) investasi keuntungan pada aset-aset alternatif yang mampu menghasilkan pendapatan sama besarnya dengan pendapatan sumber daya alam yang sedang dihabiskan (Lange and Wright, 2002).
Untuk mengetahui total kekayaan sumber daya alam yang dimiliki suatu daerah dan menjamin kesuksesan dari ketiga faktor di atas sangat perlu adanya perhitungan yang akurat atas nilai dari sumber daya lingkungan (environmental account) dan mineral (mineral account) yang akan dieksploitasi. Ada beberapa metode perhitungan yang dapat digunakan untuk akutansi lingkungan dan mineral ini (Bhagwat, 2005). Contoh perhitungan dan implementasinya dalam bidang mineral di Botswana dan Namibia diberikan oleh Lange and Wright (2002) dan Lange (2004). Harga mineral dan energi di pasar sering tidak mencerminkan biaya-biaya eksternal yang bersifat negatif seperti: kerusakan lingkungan dan biaya perbaikannya; perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat lokal; dan ketergantungan akan produk impor di masa depan saat sumber daya alam setempat telah habis. Di dalam pertambangan berkelanjutan, biaya-biaya lingkungan ini sangat penting untuk dimasukkan dalam akutansi biaya produksi satu produk hasil tambang. Terkait dengan ini Tietenberg (1996) mengusulkan dua prinsip yaitu biaya penuh (full cost) dan daya dukung (carrying capacity).
Akutansi biaya penuh mengikutsertakan semua aspek biaya di dalam biaya produksi termasuk biaya rehabilitasi lingkungan dan sosial sehingga harga dari satu produk menjadi naik. Dengan meningkatnya harga, konsumer diharapkan dapat menggunakan produk dengan lebih hemat dan berusaha mencari alternatif. Dengan adanya substitusi produser akan berusaha mencari alternatif teknologi yang lebih murah. Ini semua akan membantu mengurangi kecepatan berkurangnya cadangan mineral dan energi.
Sementara itu prinsip daya dukung menyiratkan bahwa sumber daya alam yang ada memiliki kapasitas yang terbatas, yang melebih itu usaha ekploitasi menjadi tidak berkelanjutan lagi. Pada akhirnya perkembangan industri pertambangan bukan dibatasi habisnya bahan tambang melainkan oleh persyaratan lingkungan di mana keuntungan hasil tambang berada dibawa biaya lingkungan yang harus dikeluarkan (Mudd, 2007).
Terkait dengan faktor kedua dan ketiga, distribusi hasil keuntungan dari ekstraksi bahan tambang harus diputuskan secara demokratis dan dilakukan secara merata baik di antara sektor publik dan swasta juga di antara pemerintah pusat, daerah dan lokal. Pemanfaatan dari keuntungan pertambangan ini harus dikelola dengan baik untuk pembelanjaan publik (infrastuktur, pendidikan dan kesehatan) juga diinvestasikan kembali dalam bentuk usaha lain untuk diversifikasi ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Walker dan Jourdan (2005) memaparkan mekanisme yang dapat digunakan oleh Afrika Selatan dalam memanfaatkan sumber daya mineral untuk dapat beralih dari perekonomian berbasis sumber daya alam (resource-based economy) menjadi perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Ada tiga tahapan mekanisme yang dapat diadopsi yaitu (i) investasi perolehan keuntungan tambang untuk menciptakan usaha-usaha sampingan dan hilir yang terkait dengan usaha pertambangan yang ada (contohnya peleburan bijih); (ii) mengembangkan usaha-usaha dengan pasar yang lebih luas seperti manufaktur (contohnya barang-barang kebutuhan industri otomotif dan konstruksi) dan jasa (contohnya pemboran, peledakan, metalurgi); (iii) migrasi ke usaha-usaha yang lebih berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (contohnya jasa teknologi komunikasi, perangkat lunak, produk makanan dan bioteknologi). Untuk mencapai ini sangat diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Selain itu pula sangat penting untuk mengalokasikan sebagian dari hasil keuntungan sebagai dana cadangan/stabilisasi (stabilization fund) yang digunakan pada saat harga komoditas terpuruk atau krisis ekonomi (Auty, 1993). Beberapa negara-negara penghasil minyak dan bahan tambang seperti Norwegia, Russia, Chile, Venezuela dan Papua New Guinea telah mengalokasikan sebagian dari keuntungan ekspor mereka untuk dana cadangan saat perekonomian melemah.
4.2. Aspek Lingkungan
Unsur lingkungan merupakan unsur utama untuk mencapai tujuan dari pertambangan berkelanjutan. Dalam sejarah, pertambangan dikenal sebagai suatu industri yang tidak ramah lingkungan. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan dari proses penambangan yang mana bertujuan mengekstraksi batuan untuk mengambil mineral dan bahan berharga dari dalam bumi dan sebagai konsekuensinya sering terjadi gangguan tata guna lahan, volume material buangan yang tinggi dan pencemaran tanah dan air sungai karena reaksi-reaksi kimia. Selain itu juga lahan-lahan bekas tambangan dan pencemaran lingkungan akibat penambangan sering tidak direhabilitasi. Ini tentu saja sangat merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar tambang dan membebani generasi sesudahnya. Selain itu pula di Kalimantan Tengah banyak terdapat tambang-tambang skala kecil yang dioperasikan oleh masyarakat yang umumnya menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup besar.
Namun ini tidak berarti industri pertambangan tidak dapat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran para profesional tambang dan masyarakat, teknologi juga berkembang untuk dapat meminimalkan kerusakan lingkugan dan menghasilkan operasi penambangan yang bersih. Sekarang ini Studi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan kewajiban bagi perusahaan sebelum izin diberikan.
Kunci utama terlaksananya pertambangan yang ramah lingkungan terletak pada perubahan radikal di dalam organisasi dan perangkat hukum/kebijakan serta juga pada komitmen dari semua pihak terkait (stakeholders) yaitu perusahaan, pemerintah, LSM, masyarakat lokal dan peneliti akademik. Perusahaan sebagai pelaksana, pemerintah sebagai pembuat dan dan penegak peraturan serta LSM, masyarakat lokal dan lingkungan akademik selaku pengamat harus bekerja sama untuk menjamin bahwa limbah dan kerusakan lingkungan akibat operasi penambangan ditekan serendah-rendahnya.
Pada akhirnya harus disadari bahwa ada unsur-unsur lingkungan seperti hutan alam (sebagai peresap air dan penanggulangan banjir)  yang tidak dapat tergantikan dan berperan kritis dalam kelangsungan kehidupan yang harus diperhatikan dan menjadi batasan (constraint) dari suatu operasi penambangan.
4.3 Aspek Sosial
Industri pertambangan juga dikenal di dalam sejarah sebagai industri di mana perolehan keuntungan tidak didistribusikan secara merata ke semua lapisan masyarakat. Selama ini keuntungan dari bisnis pertambangan lebih terkonsentrasi dan dinikmati oleh sedikit orang (pemegang saham) yang seringkali berada di luar daerah di mana industri pertambangan tersebut dijalankan.
Sebagaimana telah dibahas dalam sub-sub bab sebelumnya bahwa ekspansi dari industri pertambangan pada akhirnya akan terbatas oleh kondisi lingkungan. Karena itu eksploitasi dari satu bahan tambang di satu daerah harus bermanfaat bagi masyarakat di daerah tersebut dalam kerangka waktu yang melebihi usia penambangan. Manfaat-manfaat jangka panjang ini dapat berbentuk: (1) fisik (tangible) seperti pembangunan infrastruktur, diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat; (2) non fisik (intangible) seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui sistem pendidikan dan kesehatan yang baik.
Di Propinsi Kalimantan Tengah kita dapat melihat bahwa tingkat pembangunan infrastuktur daerah, pelayanan dan fasilitas kesehatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat lambat dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia padahal Kalimantan Tengah termasuk daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti mineral, batubara dan hutan. Sampai saat ini ketersediaan listrik untuk masyarakat masih belum lancar. Ini tentunya menjadi bahan evaluasi kita bersama mengenai kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya batubara di Kalimantan Tengah.
Galeano (1998) dalam bukunya “The Open Veins of Latin America” menegaskan bahwa untuk meningkatkan sistem perekonomian lokal dan mobilitas masyarakat makan jalan-jalan utama dan jalur kereta api yang dibangun harus membentuk satu sistem transportasi yang menghubungkan antar daerah pemukiman. Sementara itu jika jalan-jalan utama dan jalur kereta api di suatu daerah dibangun menyerupai aliran sungai yang bermuara di laut maka dapat dipastikan bahwa ini dibangun untuk menguras sumber daya alam daerah tersebut untuk kepentingan pihak luar.
Studi-studi yang dilakukan oleh Stijns (2007) dan Auty (1993) lebih lanjut menyimpulkan bahwa di dalam konteks negara berkembang, negara-negara yang kaya akan sumber daya alam (contohnya Zambia dan Sierra Leone) cenderung memiliki investasi yang lebih rendah dalam sumber daya manusia (human capital) dibandingkan dengan negara-negara yang miskin sumber daya alamnya (contohnya Korea Selatan dan Taiwan). Sumber daya sosial seperti hubungan sosial antar anggota masyarakat, norma-norma sosial dan institusi-institusi sosial dalam masyarakat semakin lama semakin tergerus sejalan dengan berkembangnya suatu wilayah.
Selain itu pula, sering juga terjadi cadangan berada di daerah terpencil yang didiami oleh satu kelompok masyarakat asli (indigenous people) dan mereka yang paling merasakan dampak lingkungan, sosial dan budaya dari satu usaha pertambangan. Namun sangat disayangkan mereka sering menjadi pihak yang paling lemah dan tidak berperan besar dalam industri pertambangan di daerah mereka. Persetujuan dari masyarakat asli (indigenous people consent) sering ditiadakan dan mereka seringkali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan awal maupun saat operasi penambangan. Di dalam perangkat-perangkat hukum yang mengatur pertambangan di Indonesia pun, persetujuan dari masyarakat asli bukan suatu hal yang wajib dalam pemberian ijin usaha pertambangan. Karena itu perlu ada perubahan dalam proses perijinan di mana hak penduduk lokal harus dihormati. Sejalan dengan itu pula perlu ada payung hukum yang melindungi hak kepemilikan tanah untuk masyarakat asli. Patut kita sadari bahwa dukungan masyarakat di sekitar lokasi penambangan dapat menjamin kesuksesan suatu usaha pertambangan. Sejumlah kecil perusahaan tambang juga telah mengadakan Analisis Dampak Sosial untuk melihat dampak sosial dari operasi penambangan bagi masyarakat sekitar. Lebih lanjut lagi dampak budaya juga penting untuk dimasukkan dalam studi awal.
Mengingat bahan tambang mempunyai sifat tidak terbarukan, selain peningkatan kesejahteraan untuk generasi sekarang dari mayarakat di sekitar tambang, hasil keuntungan penambangan juga perlu dialokasikan dalam bentuk dana simpanan yang disisihkan untuk generasi mendatang. Kita dapat mencontoh Kuwait sebagai negara penghasil minyak mereka memiliki Reserve Fund for Future Generations, suatu dana cadangan yang disisihkan dari keuntungan ekspor minyak untuk keperluan generasi penerus.
4.4. Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Pemerintah baik di tingkat nasional, propinsi maupun lokal memiliki peran yang sangat penting dalam tercapainya pertambangan berkelanjutan. Pemerintah berperan dalam membuat perencanan pengelolaan sumber daya mineral dan energi, regulasi dan kebijakan yang mengatur integrasi aspek ekononi, lingkungan dan sosial untuk mencapai tujuan pertambangan berkelanjutan serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya. Pemerintah perlu menciptakan proses pengambilan keputusan yang demokratis dan transparan bagi semua pihak. Selain itu pula kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan (accountable).
Melihat demikian besarnya peran yang dimainkan oleh pemerintah, kegiatan peningkatan kemampuan/kapasitas (capacity building) di dalam setiap institusi pemerintah adalah sangat penting. Dalam konteks pengelolaan mineral dan energi peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan melalui pelatihan berbagai disiplin ilmu terkait dan manajerial untuk mengelola dan mendistribusikan perolehan keuntungan dari industri pertambangan secara adil dan merata.
5. Usulan Awal Strategi Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Energi yang Berkelanjutan di Kalimantan Tengah
Untuk mengelola sumber daya mineral dan energi secara berkelanjutan yang dapat memberi manfaat maksimal bagi penduduknya, Propinsi Kalimantan Tengah harus memiliki rancangan detil (blueprint) pengelolaan dan pemanfaatan dari seluruh cadangan mineral dan energi yang dimilikinya yang konsisten dengan empat pilar utama pembangunan berkelanjutan: ekonomi, lingkungan, sosial dan tata pemerintahan yang baik. Dengan demikian pembuatan rancangan ini memerlukan integrasi dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu juga keberadaan tambang rakyat yang cukup banyak memberikan tantangan tersendiri dalam pengelolaan pertambangan di Kalimantan Tengah. Secara garis besar langkah-langkah yang dapat diambil untuk membuat rancangan detil ini dapat dilihat pada diagram proses di bawah ini (Gambar 1).
Langkah-langkah dalam Gambar 1 dibuat dengan menambah diagram proses yang diberikan oleh Shield dan Solar (2005). Hal pertama yang harus dilakukan adalah menginventarisasi data cadangan mineral dan energi yang layak tambang yang dilanjutkan dengan melakukan perhitungan (akutansi) cadangan dan lingkungan untuk mendapat gambaran total kekayaan cadangan di bawah tanah dan lingkungan di atasnya sehingga dapat dibuat perhitungan tingkat konsumsi yang berkelanjutan baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Gambar 1. Diagram proses pengelolaan sumber daya mineral dan energi secara berkelanjutan
Berbekal data-data ini para pemangku kepentingan (stakeholders) dapat diidentifikasi. Proses konsultasi harus dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan untuk mengetahui nilai-nilai yang mereka pegang dan tujuan-tujuan yang mereka inginkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan cadangan yang ada. Berdasarkan informasi-informasi yang ada beberapa alternatif pengelolaan dan pemanfaatan cadangan dapat dikembangkan. Beberapa aspek yang harus dimasukkan dan diperhatikan dalam tahapan ini adalah: rencana eksplorasi; eksploitasi (swasta, pemerintah, rakyat); pemenuhan kebutuhan lokal; sinergi antara eksploitasi dan pengolahan lokal (industri sampingan dan hilir) untuk dapat memberi nilai tambah; serta keperluan ekspor. Pembangunan infrastruktur direncanakan sesuai dengan rencana pengelolaan dan pemanfaatan ini. Jalur pengangkutan regional antar kabupaten seperti kereta api dapat direncanakan untuk memfasilitasi penyediaan kebutuhan lokal serta industri sampingan dan hilir selain juga untuk transportasi publik.
Studi kelayakan teknis dan ekonomi kemudian perlu dilakukan pada alternatif-alternatif pengelolaan dan pemanfaatan cadangan ini. Di samping itu perlu juga dilakukan analisis dampak lingkungan dan sosial untuk melihat apakah alternatif-alternatif ini sudah sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Peningkatan kesejahteraan dan keterlibatan langsung masyarakat lokal dalam industri pertambangan juga upaya-upaya mencegah dampak-dampak negatif  dari sisi lingkungan, sosial dan budaya harus menjadi perhatian para perencana. Pengembangan wilayah perlu memperhatikan daya dukung sosial dan budaya sehingga tidak terjadi perubahan mendadak dalam struktur sosial dan budaya yang dapat menimbulkan efek-efek negatif. Jika studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan dan sosial tidak memuaskan, alternatif-alternatif pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan energi ini harus direvisi sampai kemudian diperoleh alternatif yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan teknis, ekonomis, lingkungan dan sosial.
Jika studi kelayakan dan analisis dampak memberikan hasil yang memuaskan maka rencana pengelolaan dan pendistribusian perolehan keuntungan dari alternatif pemanfaatan cadangan mineral dan energi ini perlu dibuat untuk menjamin pendistribusian yang merata. Beberapa alokasi penggunaan yang harus dipertimbangkan adalah alokasi belanja publik (kesehatan, pendidikan dan infrastruktur), alokasi investasi ulang (diversifikasi usaha, sumber daya manusia dan sosial) dan alokasi dana simpanan (stabilization fund atau future generation fund). Diversifikasi usaha dapat dimulai dari usaha yang terkait dengan pertambangan dan industri hilir. Perlu juga dilakukan investasi untuk penguatan usaha masyarakat di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan serta penelitian dan aplikasi energi alternatif yang terbaharukan.
Alternatif yang sudah diuji ini berserta rencana pengelolaan keuntungan kemudian dibawa kembali ke para pemangku kepentingan. Jika sudah dapat diterima, tahapan implementasi dapat dimulai namun jika tidak dapat diterima maka alternatif ini harus direvisi kembali.
Pengawasan dan evaluasi kemudian dilakukan pada proses implementasi untuk dapat menjamin tercapainya tujuan pengelolaan sumber daya mineral dan energi yang berkelanjutan dan memberikan bahan masukan untuk memperbaiki tahapan-tahapan sebelumnya. Para pemangku kepentingan akan mendapat laporan hasil dari pengawasan dan evaluasi ini.
Rencana pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan energi yang diberikan pada Gambar 1 ini merupaka proses yang bersifat iteratif dan adaptif. Kegiatan eksplorasi secara berkala (misalnya setahun sekali) perlu dilakukan untuk memberi tambahan data yang digunakan untuk memperbaharui (updating) data cadangan yang ada.
Patut diingat bahwa usulan yang diberikan di dalam makalah ini merupakan kerangka awal dan untuk sampai pada tahap implentasi harus dilakukan studi dan analisa lebih lanjut. Konsep pengelolaan tambang rakyat kecil oleh masyarakat telah diajukan dalam tulisan sebelumnya (Adventa, 2008).
6. Kesimpulan
Propinsi Kalimantan Tengah sebagai propinsi yang memiliki cadangan mineral dan energi yang cukup besar dapat memanfaatkan potensi ini untuk pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan industri pertambangan yang berkelanjutan. Makalah ini telah menijau aspek-aspek dari pertambangan berkelanjutan dan memaparkan strategi pengelolaan dan pemanfaatan cadangan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Tengah.
Keberhasilan dari pembangunan berbasiskan sumber daya mineral dan energi untuk kemudian dapat beralih pada pembangunan berbasis pengetahuan sangat ditentukan oleh tingginya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan kapasitas untuk proses pembelajaran dan inovasi (Walker and Jourdan, 2003). Ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah dan masyarakat Kalimantan Tengah mengingat sumber daya ini bersifat terbatas dan hasil eksploitasi selama ini masih bisa dimanfaatkan lebih maksimal untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat Kalimantan Tengah.
Daftar Pustaka
Adventa, A. (2008) Merkuri Kadar Rendah Ternyata Masih Berbahaya: Sebuah Refleksi Untuk Penambangan Emas Rakyat Semi-Mekanis. Opini Kalteng Pos April 2008. Bisa diakses di :
http://pateteitamuei.wordpress.com/2009/05/09/merkuri-kadar-rendah-ternyata-masih-berbahaya/
Auty, R. (1993) Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis. London: Routledge
Bhagwat, S. (2005) Economics of Sustainable Mining. Di dalam: Rajaram, V. et al (editors). Sustainable Mining Practices: A Global Perspective. A.A. Balkema Publisher. Leiden.
Galeano, E. (1998) The Open Veins of Latin America: Five Centuries of the Pillage of a Continent. New York University Press
Hobbs, J.C.A. (2005) Enhancing the Contribution of Mining to Sustainable Development. Di dalam: Marker, B. R. et al. (editors.) Sustainable Minerals Operations in the Developing World. Geological Society, London, Special Publication 250: 9-24
Lange, G.M. dan Wright, M. (2002). Sustainable Development in Mineral Economies: The Example of Botswana. CEEPA Discussion Paper No 3, Centre for Environmental Economics and Policy in Africa (CEEPA), University of Pretoria, Pretoria.
Lange, G.M. (2004) Wealth, Natural Capital, and Sustainable Development: Contrasting Examples from Botswana and Namibia. Environmental and Resource Economics 29: 257–283, 2004.
MMSD (2002) Breaking New Ground. International Institute for Environment and Development. Earthscan Publication, London.
Mudd, G. (2007) Sustainable Mining – an Oxymoron? The Chemical Engineer Today Magazines, December 2007/January 2008. Institution of Chemical Engineers.
Richards, J. P. (2005) The Role of Minerals in Sustainable Development. Di dalam: Marker, B. R. et al. (eds.) Sustainable Minerals Operations in the Developing World. Geological Society, London, Special Publication 250: 25-34.
Rosser, A. (2006) The Political Economy of the Resource Curse: A Literature Survey, IDS Working Paper 268, Brighton: Institute of Development Studies, University of Sussex.
Shields, D.J. dan Ĺ olar, S.V. (2005) Sustainable Development and Minerals: Measuring mining’s contribution to society. Di dalam: Marker, B. R. et al. (eds.) Sustainable Minerals Operations in the Developing World. Geological Society, London, Special Publication 250: 195-212.
Walker, M. dan Jourdan (2003) Resource-based sustainable development: an alternative approach to industrialisation in South Africa. Minerals and Energy 18: 25-43.
WCED (1987) The Report of the Brundtland Commission: Our Common Future. Oxford Univ. Press.

Pengetahuan Hukum Pertambangan dan Permasalahannya di Indonesia – Indonesia Mining Hukum Pertambangan Home About Lawyers Free Consultation Disclaimer Ketentuan Mengenai Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Sumber Daya Mineral

Latar Belakang

Tujuan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral (“Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral”) adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 111 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba”).
Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya adalah:
  1. mineral logam;
  2. mineral bukan logam; atau
  3. batuan.
Selanjutnya, di dalam Pasal 3 ayat (1) Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral diatur bahwa peningkatan nilai tambah komoditas tambang dilaksanakan melalui kegiatan: Read the rest of this entry »

Stop Pengelolaan Migas oleh Asing!

KONTRAK pengelolaan Blok Mahakam yang dikelola oleh Total E&P Indonesia berakhir pada 2017. Pemerintah akhirnya memastikan tidak akan ada perpanjangan kontrak blok minyak dan gas (migas) tersebut. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini di kantor Kementerian ESDM, awal November lalu.

Sebelumnya pemerintah pada 12 November 2012 menyatakan akan menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam kepada Total. Namun niat ini urung dilakukan seiring dengan banyaknya tekanan dari berbagai pihak, baik oleh serikat pekerja Pertamina maupun kelompok masyarakat lainnya.

Menurut Dr. Arim Nasim (DPP HTI), salah satu alasan yang sering dikemukan oleh pemerintah maupun anggota dewan ketika menyerahan kontrak migas kepada perusahaan asing adalah ketidakmampuan Pertamina baik dari sisi modal maupun teknologi. untuk explorasi di darat, Pertamina dengan tenaga-tenaga ahlinya dari dalam negeri sudah mampu mendeteksi dan mengekplorasinya tanpa hambatan. Penemuan cadangan minyak di Blok Cepu adalah hasil kerja tenaga ahli dari Pertamina.Bahkan Pertamina juga menyatakan mampu secara teknologi untuk mengekplorasinya tanpa bantuan asing. Tapi karena tekanan Amerika, maka dengan begitu mudahnya Blok Cepu tersebut diserahkan kepada Exxon Mobile.

Kalau  saat ini  Pertamina dianggap tidak mampu, adalah  sebuah  keanehan. Kenapa setelah puluhan tahun, kok, belum mampu? Kalaupun tidak mampu, sebenarnya ketidakmampuan Pertamina mengeksplorasi sumber daya alam dan energi di laut dalam bukan karena keahlian SDM kita yang minim. Faktanya, banyak SDM Indonesia yang bekerja di perusahaan asing, baik di Indonesia maupun di luar negeri karena gajinya lebih besar.

Kisruh pengelolaan blok Mahakam merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang prokapitalis dengan liberalisasi  sumber daya alam yang dilegalkan oleh DPR melalui UU Migas No. 22 tahun 2001. Rasanya sulit berharap ada kebijakan yang pro rakyat selama sistem yang digunakan adalah sistem kapitalis dan penguasanya adalah pengikut para kapitalis yang mengabdi bukan untuk kepentingan rakyat. Negara-negara kapitalis tidak akan melepaskan keuntungan yang selama ini mereka dapatkan baik melalui jalur bisnis maupun tekanan politik.

Hanya dengan sistem Islam dan pemimpin yang amanahlah maka kekayaan alam akan memberikan manfaat untuk rakyat. Gas, sebagaimana halnya tambang yang melimpah lainnya dalam perspektif ekonomi Islam merupakan barang milik umum. Dengan demikian pengelolaannya harus diserahkan kepada negara, dalam hal ini Khilafah Islamiyyah. Seluruh hasilnya digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. Dari  Abyadh bin Hammal: Beliau menghadap kepada Nabi saw dan memohon diberikan bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata : “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah (seperti) air yang mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.” (HR. Baihaqy & Tirmidzy). Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menyerahkan penguasaan barang tambang yang melimpah kepada swasta namun tetap dikuasai oleh negara.

Peningkatan Peran Representasi DPR-RI

Peningkatan Peran Representasi DPR-RI

Oleh


Peningkatan Peran Representasi DPR-RI
Menjawab Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Mineral di Indonesia Saat ini

1. Latar Belakang

Berdasarkan hasil riset nasional DEMOS mengenai mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia (2005) dan resurvey nasional DEMOS berikutnya (2007), ditemukan bahwa:

  1. Kualitas representasi politik di Indonesia sangat buruk oleh karena representasi dikooptasi oleh para elit. [1]
  2. Tidak ada upaya yang substansial telah dilakukan untuk meningkatkan peran representasi dari lembaga legislatif, terutama di tingkat DPR-RI. [2]
  3. Pengelolaan sumber daya alam dipandang merupakan salah satu isu yang paling “contentious” yang harus ditangani. [3]

Berbagai isu di atas harus ditangani untuk mencegah adanya dampak negatif pada proses demokratisasi  dan meruntuhkan capaian dari proses demokratisasi di Indonesia.[4]Buruknya representasi harus diperbaiki. Di ini peran representasi DPR  menjadi titik yang sangat penting untuk menjaga capaian demokrasi Indonesia dan meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.

Renstra DPR 2010-2014 sudah menyebutkan pentingnya perbaikan kualitas representasi. Salah satu misi DPR yang paling relevan dalam hal ini adalah: ”Mewujudkan kelembagaan DPR RI yang kuat, aspiratif, responsif dan akomodatif, yakni membangun lembaga perwakilan yang kuat dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan meningkatkan akses dalam penyerapan aspirasi masyarakat melalui pola dukungan keahlian serta prasarana dan sarana komunikasi yang lengkap, akurat, dan menjangkau masyarakat”.  Yang tentu harus dilakukan adalah mendorong dan memberi sumbangan bagaimana kemauan politik DPR yang tercermin dalam misi ini dapat dilaksanakan.


2. Tujuan RISET

Berdasarkan isu-isu yang teridentifikasi di atas, DEMOS akan melakukan riset kebijakan selama empat bulan. Riset kebijakan ini mengeksplorasi masalah representasi pada kebijakan sumber daya mineral dan memberikan saran/rekomendasi mengenai pilihan kebijakan yang paling “viable” bagi pengelolaan sumber daya mineral di Indonesia. Riset ini dituntun oleh premis bahwa perbaikan peran representasi DPR akan berpotensi dapat menangani atau pun mengurangi insiden masalah-masalah sosial yang selama ini terhalangi oleh pembuatan kebijakan sumber daya mineral yang tidak hati-hati terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber daya mineral.

Riset ini mengkaji pembuatan kebijakan sumber daya mineral di tingkat nasional. Hasil riset ini diharapkan memiliki dampak nasional dan dimungkinkan untuk direplikasi pada bidang kebijakan lainnya. Riset ini bersifat kualitatif dan dijalankan dengan metode yang paling mungkin dimana  nantinya memberikan pilihan-pilihan empiris bagi para anggota  DPR. Untuk itu riset ini  bertujuan:

  • Menghasilkan rekomendasi untuk memperbaiki keterwakilan kepentingan warga, terutama kelompok perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya (masyarakat adat) dalam kebijakan bidang sumber daya mineral oleh DPR;
  • Menghasilkan riset kebijakan yang mengidentifikasi kendala dan solusi untuk memperbaiki fungsi representasi terutama bagi kelompok perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya (masyarakat adat) dalam pembuatan kebijakan sumber daya mineral di DPR.

3. Metoda Pengambilan Data dan Analisa Data:

Pengambilan data pertama dilakukan melalui kajian literatur →  Literatur review: Tahap pertama lebih bersifat studi literatur (desk study) dengan mengumpulkan informasi awal seputar kebijakan publik di bidang sumber daya mineral. Hasil yang diharapkan adalah laporan yang memuat:

  • Gambaran kebijakan sumber daya mineral yang ada selama  ini berdasarkan  kelompok isu penting (misal, politik desentralisasi dan sumber daya mineral  kesejahteraan dan sumber daya mineral, kebijakan sumber daya mineral dan dampaknya bagi perempuan dan kelompok terpinggirkan  lain/masyarakat adat, dsb)

Pengambilan data tahap kedua yang melengkapi data kajian literatur dilakukan melalui beberapa cara:

  1. wawancara Mendalam (In-depth interview). Wawancara mendalam  dilakukan dengan sejumlah informan terpilih yang memiliki keterkaitan, ketertarikan (interest) dan “mengalami” proses dan dinamika dalam hubungannya dengan persoalan representasi dan kebijakan publik dari tiga kelompok yang berbeda di atas (kelompok politik, masyarakat sipil/masyarakat yang terkena dampak kebijakan dan kelompok ekonomi).  Wawancara mendalam dilakukan terutama pertimbangan praktis untuk beberapa orang yang kemungkinan tidak dapat hadir dalam FGD yang akan dilakukan. Selain itu beberapa orang oleh karena posisinya dan atau alasan lain tidak memungkinkan mereka untuk memberi pendapat secara terbuka dalam diskusi.

  1. Diskusi Kelompok Terfokus. Kelompok diskusi terfokus/Focus Group Discussion (FGD) akan dilaksanakan untuk melengkapi data yang dihasilkan dari riset dokumen

4. Hasil Riset


Riset ini akan menghasilkan rekomendasi yang disusun berdasarkan temuan riset. Namun demikian,
setiap tahapan riset (riset dokumen, peer review, FGD dan wawancara mendalam) akan menghasilkan
laporan sementara yang memuat temuan dan rekomendasi sementara.  Rekomendasi akhir akan termuat
dalam laporan akhir.  Rekomendasi riset ini akan meliputi tiga hal penting:

  • Rekomendasi mengenai kebijakan sumber daya mineral di Indonesia ke depan dan kaitannya dengan isu-isu penting (antara lain politik desentralisasi dan peningkatan kesejahteraan);
  • Rekomendasi mengenai kebijakan sumber daya mineral ke depan dan kaitannya dengan perlindungan kelompok rentan (antara lain perempuan dan masyarakat adat);
  • Rekomendasi perbaikan prosedur dan mekanisme penyusunan kebijakan bidang sumber daya mineral


5. Lokasi, Waktu dan Pelaksana Riset

Riset ini akan dilakukan di Jakarta selama peride Desember 2011 – Maret 2012.  Riset ini akan dilaksanakan oleh Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, DEMOS. Personil yang akan melaksanakan riset ini adalah:


Nama
 Posisi
B. Herry Priyono PhD
Anggota Board of Supervisor, DEMOS
(PRO BONO BASIS)
Sylvana Maria Apituley
Anggota Perkumpulan DEMOS –
Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Periode 2007-2009 dan Periode 2010-2014
Roichatul Aswidah
Deputi Riset DEMOS
Sri Maryanti
Staf Peneliti DEMOS
Christina Dwi Susanti
Staf Advokasi DEMOS
Neneng Khairiyah
Staf Administrasi dan Keuangan DEMOS




[1]Salah satu kesimpulan utama dari Resurvey DEMOS 2007 adalah terjadinya monopolisasi representasi.Resurvei ini menunjukkan bahwa aktor-aktor berpengaruh di dalam masyarakat mendominasi politik dan ekonomi politik.Politik (termasuk para eksekutif) dan ‘kontak-kontak berpengaruh’ adalah sumber kekuasaan mereka yang paling utama. Mereka membangun aliansi di tingkat elit, sedangkan legitimasi berkait dengan kemampuan untuk menghubungkan orang-orang dan memperoleh posisi penting dan berkuasa

[2] Resurvey DEMOS 2007  menengarai  tidak adanya usaha yang cukup susbstansial untuk menumbuhkan representasi demokratik langsung dalam pemerintahan publik lewat wakil-wakil lokal dan organisasi-organisasi popular yang berbasiskan kepentingan dan pengetahuan khusus, seperti serikat buruh dan gerakan lingkungan. Jika ada, maka hanya menjaring kontak-kontak khusus dan orang-orang terkemuka yang diseleksi dari atas. Di seluruh wilayah Indonesia hampir tidak ada representasi substantif dari ide atau kepentingan krusial kelas menengah liberal, pekerja, petani, kaum miskin kota, perempuan atau aktivis hak asasi manusia dan lingkungan. Resurvey ini juga menyatakan bahwa potensi pengembangan representasi popular mensyaratkan adanya  upaya untuk kemungkinan untuk menggabungkan aktivitas parlementer dan non-parlementer, serta partisipasi representatif dan partisipasi langsung.

[3] Resurvey DEMOS 2007 menyatakan adanya dua isu penting yang termasuk dalam agenda politik  kelompok berpengaruh yaitu  isu-isu tentang pemerintahan dan pembangunan ekonomi.

[4] Dalam beberapa tahun terakhir di  berbagai media muncul diskusi mengenai kegagalan demokrasi untuk mendatangkan kesejahteraan bahkan masyarakat menginginkan kembali pada masa Soeharto. Lihat  salah satunya di http://politik.vivanews.com/news/read/220506-survei--publik-rindukan-masa-soeharto


*Terlampir Draft  Laporan Penelitian Kebijakan  Peran Representasi DPR-RI dalam Fungsi Legislasi Studi Kasus Penyusunan UU No. 4  Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
 * Foto diunduh dari  http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=5368

Sumber Daya Mineral masih banyak yang dikelolas belum secara maksimal.

Sumber Daya Mineral masih banyak yang dikelolas belum secara maksimal.

Akhir-akhir ini terasa ada semangat baru dalam pengelolaan sumber daya mineral di Indonesia. Salah satu wujud dari semangat baru itu adalah masalah divestasi saham perusahaan tambang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012.
Melalui peraturan itu, pemerintah mewajibkan perusahaan tambang asing dalam jangka waktu 10 tahun mengurangi porsi kepemilikan saham secara bertahap hingga porsi saham yang dimiliki mitra nasionalnya dapat mencapai 51 persen.
Peraturan tersebut jelas sebuah kabar gembira bagi bangsa Indonesia, karena menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam masalah pengelolaan sumber daya mineral.
Memang, beberapa waktu belakangan ini pemerintah memberi perhatian khusus terhadap masalah pengelolaan sumber daya mineral.
Selain mengeluarkan kebijakan divestasi saham perusahaan tambang, pemerintah membentuk tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan. Tim tersebut dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2012 tertanggal 10 Januari 2012, dengan ketua Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Agenda Besar
Masalah pengelolaan sumber daya mineral dan renegosiasi kontrak karya memang telah lama menjadi agenda besar dan strategis bangsa Indonesia.
Selama ini, berbagai perusahaan tambang asing sering kali tidak transparan soal hasil produksi mereka. Bangsa Indonesia hanya bisa gigit jari ketika mereka menikmati lonjakan laba tinggi seiring tren kenaikan harga komoditas.
Kasus eksplorasi dan eksploitasi tambang PT Freeport Indonesia di tanah Papua sering kali dijadikan contoh untuk menggambarkan realitas itu. Kontrak karya PT Freeport Indonesia pertama kali ditandatangani pada 1967, di tambang Ertsberg, seluas 10 kilometer (km) persegi.
Pada 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektare (ha). Lalu, pada 1991 penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya PT Freeport Indonesia baru akan habis pada 2041.
Namun, PT Freeport Indonesia sejauh ini hanya memberikan royalti 1 persen untuk emas dan 1,5–3,5 persen untuk tembaga bagi pemerintah Indonesia. Padahal, dalam aturan royalti pertambangan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), disebutkan royalti emas ditetapkan 3,75 persen dari harga jual kali tonase.
Selain PT Freeport Indonesia, satu perusahaan tembaga asing lain yang juga bercokol di Indonesia adalah PT Newmont Nusa Tenggara, yang menandatangani kontrak karya dengan pemerintah Indonesia pada 1986, untuk izin eksplorasi dan eksploitasi tambang di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Indonesia terlibat perseteruan berkepanjangan dengan PT Newmont Nusa Tenggara terkait pembelian 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.
Pembelian 7 persen saham sisa divestasi itu memiliki nilai strategis tersendiri. Mengelola perusahaan melalui kepemilikan saham merupakan langkah strategis jika negara ingin menguasai dan memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki secara optimal sesuai konstitusi.
Perjalanan pemerintah pusat membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara memang menghadapi berbagai hambatan.
Pada Maret 2008, pemerintah menggugat PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional karena gagal melaksanakan divestasi saham sesuai tahapan. Setahun kemudian, arbitrase internasional memenangkan gugatan pemerintah itu. PT Newmont Nusa Tenggara diwajibkan menyelesaikan divestasi sesuai kontrak karya.
Lepas dari adangan itu, pemerintah pusat kemudian menghadapi tantangan baru berupa sikap ngotot Pemerintah Daerah (Pemda) NTB untuk membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara demi melengkapi kepemilikan saham terdahulu bersama PT Multi Daerah Bersaing. Sebelumnya, Pemda NTB melalui PT Multi Daerah Bersaing telah memiliki 24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara.
Dalih untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah digunakan sebagai dasar legitimasi sikap ngotot tersebut. Namun, benarkah demikian?
Perlu diketahui, PT Multi Daerah Bersaing merupakan perusahaan patungan antara PT Multicapital—anak usaha PT Bumi Resources Tbk kelompok Bakrie—dan badan usaha milik pemda PT Daerah Maju Bersaing.
Mayoritas saham PT Multi Daerah Bersaing sendiri dikuasai PT Multicapital, yang mencapai angka 75 persen. Sementara itu, PT Daerah Maju Bersaing hanya memiliki 25 persen saham PT Multi Daerah Bersaing.
Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa penguasaan saham PT Newmont Nusa Tenggara oleh Pemda NTB melalui PT Multi Daerah Bersaing sesungguhnya tidak dapat dikatakan mewakili pemda, melainkan hanya memperkaya PT Multicapital.
Fakta mengenaskan lain, sebesar 24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara yang selama ini dimiliki Pemda NTB melalui PT Multi Daerah Bersaing secara diam-diam digadaikan kepada Credit Suisse Singapura guna mendapatkan utang.
Diadang di DPR
Keteguhan sikap pemerintah pusat untuk membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara mendapatkan perlawanan dari DPR, terutama komisi bidang keuangan dan komisi bidang energi DPR yang banyak dihuni para kader Partai Golkar.
Wajar kemudian muncul kecurigaan bahwa ada kepentingan politik dan bisnis di balik kisruh pembelian 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Partai Golkar terlihat sangat berhasrat memuluskan ambisi PT Multicapital dalam menguasai saham PT Newmont Nusa Tenggara. Pemda NTB seakan hanya dijadikan alat politik untuk memenuhi kepentingan bisnis kelompok Bakrie.
Ilustrasi di atas kiranya dapat memberi gambaran kepada kita semua bahwa renegosiasi kontrak karya bukan perkara mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan keberanian pemerintah karena harus berhadap-hadapan dengan perusahaan-perusahaan tambang asing sekelas PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Beruntung, kabar terakhir menyebutkan pemerintah dan PT Freeport Indonesia telah menyepakati sejumlah hal dalam forum renegosiasi kontrak pertambangan.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, sejumlah hal yang telah disepakati itu antara lain penaikan jumlah royalti, pembangunan smelter, divestasi saham, meningkatkan komponen lokal, dan melakukan penawaran saham perdana di pasar bursa Indonesia.
Ini merupakan sebuah pencapaian yang cukup baik dari tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan. Meskipun demikian, masih terlalu pagi untuk mengatakan kesepakatan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia itu sebagai keberhasilan besar dalam renegosiasi kontrak karya.
Oleh karena itu, ke depan Presiden SBY mutlak harus terus memberikan dukungan moral dan politik kepada tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan.
Ini penting agar niat memperbaiki pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia tidak takluk pada kekuatan kelompok-kelompok bisnis, baik asing maupun dalam negeri.
*Penulis adalah peneliti pada The Habibie Center.

Peluang Bisnis - Belajar Sambil Menghasilkan Uang

Peluang Bisnis - Belajar Sambil Menghasilkan Uang

Bagaimana caranya?

Dengan menjadi member AsianBrain, Anda bisa fokus belajar tentang internet marketing, namun sambil dapat menghasilkan uang. Caranya mudah, setelah menjadi member di AsianBrain, silahkan daftarkan diri untuk bergabung di sebuah program khusus member yang disebut AsianBrain Affilliate Program.

Program tersebut dirancang khusus untuk member guna memasarkan keanggotaan AsianBrain ke khalayak luas. Dari setiap penjualan keanggotaan AsianBrain yang dilakukan, maka Anda mendapatkan komisi sebesar 25%. Syarat untuk megikuti affiliate program ini adalah, Anda harus terlebih dahulu menjadi member aktif berbayar di AsianBrain.

Apakah setiap member 'wajib' memasarkan keanggotaan AsianBrain?

Tentu saja tidak!

Program affiliasi ini adalah program optional bagi member yang ingin menjual keanggotaan AsianBrain dan mendapatkan penghasilan tambahan. Tujuan utama Anda masuk ke AsianBrain tentunya adalah belajar Internet Marketing dari Anne Ahira dan guru-guru AsianBrain lainnya. Namun tidak ada salahnya jika Anda turut mengikuti program afiliasi yang ada untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan sambil belajar, bukan? :)

Bagaimana Program Affiliate ini bekerja?

Anda sebagai affiliate akan diberikan link khusus untuk memasarkan keanggotaan AsianBrain. Selanjutnya, Anda tinggal mempromosikan link tersebut, contoh di social media seperti facebook, twiter, atau Anda dapat menaruh banner pada blog pribadi.

Jika ada orang yang melihat link atau banner tersebut dan mengekliknya, lalu mendaftar di AsianBrain melalui link Anda dan jadi member berbayar, maka Anda akan mendapat komisi penjualan dari PT. AsianBrain.

Berapa komisi yang bisa Anda dapatkan?

Anda akan mendapatkan komisi sebesar 25% dari setiap penjualan keanggotaan AsianBrain. Dengan perhitungan untuk setiap penjualan keanggotaan Rp. 199.000,- per bulan maka komisi yang Anda terima adalah sebesar Rp.50.000.- per bulan selama member tersebut aktif berbayar.

Sementara untuk setiap penjualan keanggotaan tahun ke-2 dan seterusnya, di mana biaya keanggotaan menjadi Rp.99.000 per bulan maka komisi untuk Anda adalah sebesar Rp.25.000 dari setiap keanggotaan yang terjual.

Bayangkan jika Anda bisa menjual 30 keanggotan dalam jarak 1 tahun, maka komisi yang akan Anda terima adalah 1,5 juta per bulan atau 18 juta per tahun. Dana yang Anda keluarkan untuk belajar di AsianBrain pun bisa langsung tertutupi! Malah ada banyak sisa yang bisa Anda gunakan untuk mengembangkan bisnis online Anda!

Komisi kami berikan setiap tanggal 25 bulan berikutnya. Besarnya komisi tergantung dari berapa banyak keanggotaan yang bisa Anda jual sendiri, dan untuk mendapatkan komisi, Anda sendiri harus menjadi member aktif berbayar.

Ayo tunggu apa lagi? Belajar di AsianBrain sekarang juga! Dapatkan penghasilan tambahan dengan mengikuti AsianBrain Affiliate Program !

APA DAN BAGAIMANA MEMPELAJARI ANALISA VEGETASI

6 Desember 2012

Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut. Dalam sampling ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan.

Prinsip penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis dan jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik Kurva Spesies Area (KSA). Dengan menggunakan kurva ini, maka dapat ditetapkan : (1) luas minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur, (2) jumlah minimal petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika menggunakan metode jalur.
Caranya adalah dengan mendaftarkan jenis-jenis yang terdapat pada petak kecil, kemudian petak tersebut diperbesar dua kali dan jenis-jenis yang ditemukan kembali didaftarkan. Pekerjaan berhenti sampai dimana penambahan luas petak tidak menyebabkan penambahan yang berarti pada banyaknya jenis. Luas minimun ini ditetapkan dengan dasar jika penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 5-10% (Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959). Untuk luas petak awal tergantung surveyor, bisa menggunakan luas 1m x1m atau 2m x 2m atau 20m x 20m, karena yang penting adalah konsistensi luas petak berikutnya yang merupakan dua kali luas petak awal dan kemampuan pengerjaannya dilapangan. Untuk lebih jelas bagan pekerjaan dapat dilihat pada gambar 1.
Sebagai contoh, hasil pengukuran KSA tumbuhan bawah dapat dilihat pada tabel 1. berikut ini :
picture11
Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa penambahan jenis pada ukuran petak 8m x 16m sudah mencapai angka dibawah 5% (sesuai syarat Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959), maka dapat ditetapkan bahwa luas petak ukur yang dapat mewakili komunitas pada rumput tersebut adalah adalah 8m x 16m atau 0.128 ha. Luasan ini bukanlah harga mutlak bahwa luas petak ukur yang harus kita gunakan adalah 0.128 ha, tapi nilai tersebut adalah nilai minimum, artinya kita bisa menambah ukuran petak contoh atau bahkan memodifikasinya karena yang harus kita perhatikan bahwa petak contohnya tidak kurang dari hasil KSA. Contoh untuk memudahkan pekerjaan dilapangan, sebaiknya ukuran petak tersebut berbentuk persegi, sehingga petak hasil KSA tersebut dapat diubah menjadi ukuran 12m x12m.
Jika sudah dapat ditentukan luas petak minimum, maka juga harus dapat ditentukan jumlah petak contoh keseluruhan. Hitungann sederhananya, tergantung kita menginginkan berapa luas total sampling yang kita inginkan. Sebagai contoh luas kawasan yang akan kita eksplorasi adalah 10 ha, ukuran petak contoh yang ditentukan 12m x 12m dan kita menginginkan intensitas sampling (IS) 5% (artinya, kita hanya akan mengukur 1% dari luas total 10 ha). Maka jumlah petak contoh yang harus kita gunakan adalah :
Dik : N = 10 ha
IS = 5% = 5% x 10ha = 0.5 ha
LPC = 12m x12m = 0.0144 ha
Ditanya : Jumlah petak contoh (n) ?
Jawab :
n = 0.5 ha / 0.0144 ha
n = 34.72
n = 35 petak
Hitungan diatas adalah perhitungan sederhana tanpa mempertimbangkan tingkat ketelitian dan tingkat eror pada pengambilan sampling.
picture2
Gbr 1. Bentuk Pertambahan Petak Kurva Spesies Area
Cara peletakan petak contoh ada dua, yaitu cara acak (random sampling) dan cara sistematik (systematic sampling), random samping hanya mungkin digunakan jika vegetasi homogen, misalnya hutan tanaman atau padang rumput (artinya, kita bebas menempatkan petak contoh dimana saja, karena peluang menemukan jenis bebeda tiap petak contoh relatif kecil). Sedangkan untuk penelitian dianjurkan untuk menggunakan sistematik sampling, karena lebih mudah dalam pelaksanaannya dan data yang dihasilkan dapat bersifat representative. Bahkan dalam keadaan tertentu, dapat digunakan purposive sampling.
Jika berbicara mengenai vegetasi, kita tidak bisa terlepas dari komponen penyusun vegetasi itu sendiri dan komponen tersebutlah yang menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi. Komponen tumbuh-tumbuhan penyusun suatu vegetasi umumnya terdiri dari :
1. Belukar (Shrub) : Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar, dan memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak subtangkai.
2. Epifit (Epiphyte) : Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain (biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup sebagai parasit atau hemi-parasit.
3. Paku-pakuan (Fern) : Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma tersebut keluar tangkai daun.
4. Palma (Palm) : Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu, lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak daun.
5. Pemanjat (Climber) : Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk penyokongnya seperti kayu atau belukar.
6. Terna (Herb) : Tumbuhan yang merambat ditanah, namun tidak menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki bunga yang menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut yang kadang-kadang keras.
7. Pohon (Tree) : Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm.
Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
a. Semai (Seedling) : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1.5 m.
b. Pancang (Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.
c. Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.
Adapun parameter vegetasi yang diukur dilapangan secara langsung adalah :
1. 1. Nama jenis (lokal atau botanis)
2. 2. Jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan
3. 3. Penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan vegetasi terhadap lahan
4. 4. Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk menghitung volume pohon.
5. 5. Tinggi pohon, baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas cabang (TBC), penting untuk mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat diketahui ditaksir ukuran volume pohon.
Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. Dibawah ini adalah beberapa rumus yang penting diperhatikan dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu :
a. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), (Mueller-Dombois dan ellenberg, 1974; Soerianegara dan Indrawan, 2005).
picture9
b. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :
picture3
dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu jenis ke-n
N = Total jumlah individu
a. Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1)
picture4
dimana :
R1 = Indeks kekayaan Margallef
S = Jumlah jenis
N = Total jumlah individu
a. Indeks Kemerataan Jenis
picture5
Dimana :
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis
Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika > 5.0.
Besaran H’ < 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, H’ = 1.5 – 3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi.
Besaran E’ < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E’ = 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’ > 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi.
a. Koefisien Kesamaan Komunitas
Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Bray dan Curtis, 1957 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005) :
picture6
dimana :
IS = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas
W = Jumlah nilai yang sama dan nilai terendah ( < ) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a, b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama dan kedua
Nilai koefisien kesamaan komunitas berkisar antara 0-100 %. Semakin mendekati nilai 100%, keadaan tegakan yang dibandingkan mempunyai kesamaan yang tinggi. Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 – IS. Untuk menghitung IS, dapat digunakan nilai kerapatan, biomassa, penutupan tajuk atau INP.
Sebagai contoh, kita membandingkan tingkat permudaan semai hutan primer dengan hutan setelah ditebang dan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Nilai Kesamaan Kerapatan antara Hutan Primer dengan Hutan setelah ditebang pada tingkat Semai
picture7
Maka nilai kesamaan komunitas (IS) = ((2 x 55) / (224 + 84)) x 100%
= 35.71%
Nilai diatas menunjukkan bahwa antara kondisi primer dan setelah ditebang dari segi jumlah individu (kerapatan) hanya mempunyai tingkat kesamaan sekitar 35.71% artinya setelah dilakukan penebangan terjadi kehilangan jumlah individu sekitar 64.29%.
f. Indeks Dominasi
Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Untuk menentukan nilai indeks dominasi digunakan rumus Simpson (1949) dalam Misra (1973) sebagai berikut :
picture8
Dimana :
C : Indeks dominasi
ni : Nilai penting masing-masing jenis ke-n
N : Total nilai penting dari seluruh jenis
Tulisan ini disadur dari buku : Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

About Me

Flag Counter

Pages

Powered By Blogger

My Blog List

\Get snow effect

Followers