Etiam placerat
DAMPAK DARI PEMANASAN GLOBAL
Bencana alam yang melanda Pakistan, China, Rusia dan melelehnya es di Arktik sesuai dengan prediksi the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) beberapa tahun lalu. Pakistan dilanda hujan terus-menerus sehingga banjir, sementara Rusia mengalami cuaca paling panas dalam 1.000 tahun.
Kejadian-kejadian sepanjang Juli sampai Agustus 2010 ini telah diprediksi ilmuwan cuaca, meski mereka malu-malu menyebutnya, sebagai bukti pemanasan global telah berlangsung. Mereka sekarang sedang berupaya mencari cara memprediksi cuaca ekstrem ini.
Agustus ini, mereka mulai menggelar rapat yang disponsori Perserikatan Bangsa-bangsa, Amerika Serikat dan Inggris. “Tak ada waktu terbuang lagi karena rakyat harus disiapkan menghadapi pemanasan global,” kata Peter Scott, klimatolog pemerintah Inggris.
IPPC pada 2007 telah memprediksi peningkatan temperatur akan menghasilkan gelombang panas dan hujan yang intens. Dalam laporan 2007 yang menghasilkan penghargaan Nobel, IPPC melaporkan “telah diamati” sebuah peningkatan gelombang panas sejak 1950.
Sementara ilmuwan the Goddard Institute of Space Studies NASA, Gavin Schmidt, di New York, menyatakan pendekatan yang tepat adalah “lebih banyak ekstrem panas dan sedikit ekstrem dingin.”
Berikut perbandingan fakta dengan prediksi:
Rusia
Untuk pertama kalinya suhu Moskow mencapai 37,8 derajat Celcius. Panas membuat kebakaran hutan dan mengeringkan lahan gambut, sehingga menyelimuti Rusia dengan kabut asap beracun. Kematian meningkat menjadi 700 jiwa per hari.
Tahun 2007, laporan IPCC memprediksi bencana kekeringan di Rusia meningkat dua kali dan melihat kemungkinan kebakaran selama bertahun-tahun. Rusia juga disebut akan kehilangan hasil pertanian.
Pakistan
Hujan lebat terus-menerus selama 36 jam membuat sungai Indus di Pakistan meluap. Diperkirakan 14 juta rakyat Pakistan kena dampak banjir. Pemerintah Pakistan menyebutnya bencana terburuk dalam sejarah bangsa itu.
Tahun 2007, laporan IPPC menyatakan hujan lebih lebat selama 40 tahun di utara Pakistan dan memprediksi banjir dahsyat akan melanda bagian selatan Asia ini.
China
Negara berpopulasi terbesar di dunia ini mengalami banjir terburuk sedekade, terutama di provinsi di barat laut, Gansu. Banjir dan longsor menewaskan 1.117 orang dan membuat 600 orang hilang.
Tahun 2007, laporan IPPC menyatakan hujan meningkat di barat laut China 33 persen dibanding 1961. Banjir di seluruh negeri meningkat tujuh kali dibanding 1950. Dan banjir akan sering terjadi di abad ini.
Arktik
Sebuah bongkahan es seluas 260 kilometer persegi telah mengapung di barat laut Greenland. Bongkahan es ini adalah yang terbesar tercatat dalam sejarah memisahkan diri dari Arktik.
Es yang mencair ini menyebabkan kenaikan permukaan lau di seluruh dunia, sebagai akibat dari ekspansi cuaca panas ke kawasan kutub. Kenaikan muka laut adalah 3,4 milimeter per dekade, dua kali lipat angka di abad 20.
Vivanews.com
Peristiwa di atas merupakan salah satu contoh kerusakan alam akibat buruknya pengolahan dan pemanfaatan sunber daya alam yang ada. Dari tahun ke tahun prosentase kerusakan alam yang ada di bumi makin lama makin buruk, yang berdampak pada ketidakstabilan unsur-unsur yang ada di bumi, sehingga banyak terjadinya bencana alam yang sering kita alami setiap tahunnya. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bumi seharusnyalah kita tahu, paham dan peduli akan kondisi bumi kita yang tidak di pungkiri makin lama makin rusak.
Perlu adanya pemahaman tentang sumber daya alam dan pengolahan sumber daya alam itu sendiri agar terciptanya kesetabilan pada lingkungan alam kita, karena secara tidak langsung aktivitas-aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, kecil besar berpengaruh terhadap alam sekitar kita.
Contoh dalam hal pembangunan seperti membangun rumah di bantaran jali, menggunakan nlahan hijau untuk kepentingan pembangunan tanpa melakukan npenghijauan kembali dan masih banyak lagi yang lain yang dampak dari itu semua langsung pada kerusakan alam.
PENGERTIAN ALAM
Alam pada dasarnya mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu.
Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.
Sumber daya alam ialah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin, cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik).
PENGERTIAN SUMBER DAYA ALAM
Menurut urutan kepentingan, kebutuhan hidup manusia, dibagi menjadi dua sebagai berikut.
1. Kebutuhan Dasar.
Kebutuhan ini bersifat mutlak diperlukan untuk hidup sehat dan aman.
Yang termasuk kebutuhan ini adalah sandang, pangan, papan, dan
udara bersih.
2. Kebutuhan sekunder.
Kebutuhan ini merupakan segala sesuatu yang diperlukan untuk lebih
menikmati hidup, yaitu rekreasi, transportasi, pendidikan, dan hiburan.
MUTU LINGKUNGAN
Pandangan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memang berbeda-beda karena antara lain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pertimbangan kebutuhan, sosial budaya, dan waktu.
Semakin meningkat pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup, maka semakin baik pula mutu hidup. Derajat pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam kondisi lingkungan disebut mutu lingkungan.
DAYA DUKUNG LINGKUNAGN
Ketersediaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan tersedianya cukup ruang untuk hidup pada tingkat kestabilan sosial tertentu disebut daya dukung lingkungan. Singkatnya, daya dukung lingkungan ialah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan semua makhluk hidup.
Di bumi ini, penyebaran sumber daya alam tidak merata letaknya. Ada bagianbagian bumi yang sangat kaya akan mineral, ada pula yang tidak. Ada yang baik untuk pertanian ada pula yang tidak. Oleh karena itu, agar pemanfaatannya dapat berkesinambungan, maka tindakan eksploitasi sumber daya alam harus disertai dengan tindakan perlindungan. Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional antara lain sebagai berikut :
1. Memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dengan
hati-hati dan efisien, misalnya: air, tanah, dan udara.
2. Menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran).
3. Mengembangkan metoda menambang dan memproses yang efisien,
serta pendaurulangan (recycling).
4. Melaksanakan etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara
damai dengan alam.
1. MACAM-MACAM SUMBER DAYA ALAM
Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, potensi, dan jenisnya.
a. Berdasarkan sifat
Menurut sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut :
1. Sumber daya alam yang terbarukan (renewable), misalnya: hewan,
tumbuhan, mikroba, air, dan tanah. Disebut ter barukan karena dapat
melakukan reproduksi dan memiliki daya regenerasi (pulih kembali).
2. Sumber daya alam yang tidak terbarukan (nonrenewable), misalnya:
minyak tanah, gas bumf, batu tiara, dan bahan tambang lainnya.
3. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya, udara, matahari,
energi pasang surut, dan energi laut.
b. Berdasarkan potensi
Menurut potensi penggunaannya, sumber daya alam dibagi beberapa macam, antara lain sebagai berikut.
1. Sumber daya alam materi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan dalam bentuk fisiknya. Misalnya, batu, besi, emas,
kayu, serat kapas, rosela, dan sebagainya.
2. Sumber daya alam energi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan energinya. Misalnya batu bara, minyak bumi, gas bumi,
air terjun, sinar matahari, energi pasang surut laut, kincir angin, dan
lain-lain.
3. Sumber daya alam ruang; merupakan sumber daya alam yang berupa
ruang atau tempat hidup, misalnya area tanah (daratan) dan
angkasa.
c. Berdasarkan jenis
Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut :
1. Sumber daya alam nonhayati (abiotik); disebut juga sumber daya
alam fisik, yaitu sumber daya alam yang berupa benda-benda mati.
Misalnya : bahan tambang, tanah, air, dan kincir angin.
2. Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam
yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba,
dan manusia.
Uraian di sini hanya akan ditekankan pada sumber daya alam hayati, termasuk di dalamnya sumber daya manusia (SDM).
2. SUMBER DAYA TUMBUHAN
Berbicara tentang sumber daya alam tumbuhan kita tidak dapat menyebutkan jenis tumbuhannya, melainkan kegunaannya. Misalnya berguna untuk pangan, sandang, pagan, dan rekreasi. Akan tetapi untuk bunga-bunga tertentu, seperti melati, anggrek bulan, dan Rafflesia arnoldi merupakan pengecualian karena ketiga tanaman bunga tersebut sejak tanggal 9 Januari 1993 telah ditetapkan dalam Keppres No. 4 tahun 1993 sebagai bunga nasional dengan masing-masing gelar sebagai berikut.
1. Melati sebagai bunga bangsa.
2. Anggrek bulan sebagai bunga pesona.
3. Raffiesia arnoldi sebagai bunga langka.
Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan tepung melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, tumbuhan merupakan produsen atau penyusun dasar rantai makanan.
Eksploitasi tumbuhan yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan dan kepunahan, dan hal ini akan berkaitan dengan rusaknya rantai makanan.
Kerusakan yang terjadi karena punahnya salah satu faktor dari rantai makanan akan berakibat punahnya konsumen tingkat di atasnya. Jika suatu spesies organisme punah, maka spesies itu tidak pernah akan muncul lagi. Dipandang dari segi ilmu pengetahuan, hal itu merupakan suatu ke rugian besar.
Selain telah adanya sumber daya tumbuhan yang punah, beberapa jenis tumbuhan langka terancam pula oleh kepunahan, misalnya Rafflesia arnoldi (di Indonesia) dan pohon raksasa kayu merah (Giant Redwood di Amerika). Dalam mengeksploitasi sumber daya tumbuhan, khususnya hutan, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Tidak melakukan penebangan pohon di hutan dengan semena-mena
(tebang habis).
b. Penebangan kayu di hutan dilaksanakan dengan terencana dengan
sistem tebang pilih (penebangan selektif). Artinya, pohon yang
ditebang adalah pohon yang sudah tua dengan ukuran tertentu yang
telah ditentukan.
c. Cara penebangannya pun harus dilaksanakan sedemikian rupa
sehingga tidak merusak pohon-pohon muda di sekitarnya.
d. Melakukan reboisasi (reforestasi), yaitu menghutankan kembali hutan
yang sudah terlanjur rusak.
e. Melaksanakan aforestasi, yaitu menghutankan daerah yang bukan
hutan untuk mengganti daerah hutan yang digunakan untuk keperluan
lain.
f. Mencegah kebakaran hutan.
Kerusakan hutan yang paling besar dan sangat merugikan adalah kebakaran hutan. Diperlukan waktu yang lama untuk mengembalikannya menjadi hutan kembali.
Hal-hal yang sering menjadi penyebab kebakaran hutan antara lain sebagai berikut :
a. Musim kemarau yang sangat panjang.
b. Meninggalkan bekas api unggun yang membara di hutan.
c. Pembuatan arang di hutan.
d. Membuang puntung rokok sembarangan di hutan.
Untuk mengatasi kebakaran hutan diperlukan hal-hal berikut ini.
a. Menara pengamat yang tinggi dan alat telekomunikasi.
b. Patroli hutan untuk mengantisipasi kemungkinan kebakaran.
c. Sistem transportasi mobil pemadam kebakaran yang siap digunakan.
Pemadaman kebakaran hutan dapat dilakukan dengan dua cara seperti berikut ini :
a. Secara langsung dilakukan pada api kecil dengan penyemprotan air.
b. Secara tidak langsung pada api yang telah terlanjur besar, yaitu
melokalisasi api dengan membakar daerah sekitar kebakaran, dan
mengarahkan api ke pusat pembakaran. Biasanya dimulai dari daerah
yang menghambat jalannya api, seperti: sungai, danau, jalan, dan
puncak bukit.
Pengelolaan hutan seperti di atas sangat penting demi pengawetan maupun pelestariannya karena banyaknya fungsi hutan seperti berikut ini :
1. Mencegah erosi; dengan adanya hutan, air hujan tidak langsung jatuh
ke permukaan tanah, dan dapat diserap oleh akar tanaman.
2. Sumber ekonomi; melalui penyediaan kayu, getah, bunga, hewan, dan
sebagainya.
3. Sumber plasma nutfah; keanekaragaman hewan dan tumbuhan di
hutan memungkinkan diperolehnya keanekaragaman gen.
4. Menjaga keseimbangan air di musim hujan dan musim kemarau.
Dengan terbentuknya humus di hutan, tanah menjadi gembur. Tanah
yang gembur mampu menahan air hujan sehingga meresap ke dalam
tanah, resapan air akan ditahan oleh akar-akar pohon. Dengan
demikian, di musim hujan air tidak berlebihan, sedangkan di musim
kemarau, danau, sungai, sumur dan sebagainya tidak kekurangan air.
3. SUMBER DAYA HEWAN
Seperti pada ketiga macam bunga nasional, sejak tanggal 9-1-1995, ditetapkan pula tiga satwa nasional sebagai berikut :
1. Komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional darat.
2. Ikan Solera merah sebagai satwa nasional air.
3. Elang jawa sebagai satwa nasional udara.
Selain ketiga satwa nasional di atas, masih banyak satwa Indonesia yang langka dan hampir punah. Misalnya Cendrawasih, Maleo, dan badak bercula satu.
Untuk mencegah kepunahan satwa langka, diusahakan pelestarian secara in situ dan ex situ. Pelestarian in situ adalah pelestarian yang dilakukan di habitat asalnya, sedangkan pelestarian ex situ adalah pelestarian satwa langka dengan memindahkan satwa langka dari habitatnya ke tempat lain.
Sumber daya alam hewan dapat berupa hewan liar maupun hewan yang sudah dibudidayakan. Termasuk sumber daya alam satwa liar adalah penghuni hutan, penghuni padang rumput, penghuni padang ilalang, penghuni steppa, dan penghuni savana. Misalnya badak, harimau, gajah, kera, ular, babi hutan, bermacam-macam burung, serangga, dan lainnya.
Termasuk sumber daya alam hewan piaraan antara lain adalah lembu, kuda, domba, kelinci, anjing, kucing, bermacam- macam unggas, ikan hias, ikan lele dumbo, ikan lele lokal, kerang, dan siput.
Terhadap hewan peliharaan itulah sifat terbarukan dikembangkan dengan baik. Selain memungut hasil dari peternakan dan perikanan, manusia jugs melakukan persilangan untuk mencari bibit unggul guns menambah keanekaragaman ternak.
Dipandang dari peranannya, hewan dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Sumber pangan, antara lain sapi, kerbau, ayam, itik, lele, dan mujaer.
b. Sumber sandang, antara lain bulu domba dan ulat sutera.
c. Sumber obat-obatan, antara lain ular kobra dan lebah madu.
d. Piaraan, antara lain kucing, burung, dan ikan hiss.
Untuk menjaga kelestarian satwa Langka, maka penangkapan hewan-hewan dan juga perburuan haruslah mentaati peraturan tertentu seperti berikut ini :
1. Para pemburu harus mempunyai lisensi (surat izin berburu).
2. Senjata untuk berburu harus tertentu macamnya.
3. Membayar pajak dan mematuhi undang-undang perburuan.
4. Harus menyerahkan sebagian tubuh yang diburunya kepada petugas
sebagai tropy, misalnya tanduknya.
5. Tidak boleh berburu hewan-hewan langka.
6. Ada hewan yang boleh ditangkap hanya pada bulan-bulan tertentu
saja. Misalnya, ikan salmon pada musim berbiak di sungai tidak boleh
ditangkap, atau kura-kura pads musim akan bertelur.
7. Harus melakukan konvensi dengan baik. Konuensi ialah aturan-aturan
yang tidak tertulis tetapi harus sudah diketahui oleh si pemburu
dengan sendirinya. Misalnya, tidak boleh menembak hewan buruan
yang sedang bunting, dan tidak boleh membiarkan hewan buas
buruannya lepas dalam keadaan terluka.
Akan tetapi, seringkali peraturan-peraturan tersebut tidak ditaati bahkan ada yang diam-diam memburu satwa langka untuk dijadikan bahan komoditi yang berharga. Satwa yang sering diburu untuk diambil kulitnya antara lain macan, beruang, dan ular, sedangkan gajah diambil gadingnya.
Sumber Daya Mikroba
Di samping sumber daya alam hewan dan tumbuhan terdapat sumber daya alam hayati yang bersifat mikroskopis, yaitu mikroba. Selain berperan sebagai dekomposer (pengurai) di dalam ekosistem, mikroba sangat penting artinya dalam beberapa hal seperti berikut ini :
a. sebagai bahan pangan atau mengubah bahan pangan menjadi bentuk
lain, seperti tape, sake, tempe, dan oncom
b. penghasil obat-obatan (antibiotik), misalnya, penisilin
c. membantu penyelesaian masalah pencemaran, misalnya pembuatan
biogas dan daur ulang sampah
d. membantu membasmi hama tanaman, misalnya Bacillus thuringiensis
e. untuk rekayasa genetika, misalnya, pencangkokan gen virus dengan
gen sel hewan untuk menghasilkan interferon yang dapat melawan
penyakit karena virus.
Rekayasa genetika dimulai Tahun 1970 oleh Dr. Paul Berg. Rekayasa genetika adalah penganekaragaman genetik dengan memanfaatkan fungsi materi genetik dari suatu organisme. Cara-cara rekayasa genetika tersebut antara lain: kultur jaringan, mutasi buatan, persilangan, dan pencangkokan gen. Rekayasa genetika dapat dimanfaatkan untuk tujuan berikut ini :
1. mendapatkan produk pertanian baru, seperti “pomato”, merupakan
persilangan dari potato (kentang) dan tomato (tomat)
2. mendapatkan temak yang berkadar protein lebih tinggi
3. mendapatkan temak atau tanaman yang tahan hama
4. mendapatkan tanaman yang mampu menghasilkan insektisida sendiri.
Akhir-akhir ini tampak bahwa penggunaan sumber daya alam cenderung naik terus, karena:
a. pertambahan penduduk yang cepat
b. perkembangan peradaban manusia yang didukung oleh kemajuan sains
dan teknologi.
Oleh karena itu, agar sumber daya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang panjang maka hal-hal berikut sangat perlu dilaksanakan.
1. Sumber daya alam harus dikelola untuk mendapatkan manfaat yang
maksimal, tetapi pengelolaan sumber daya alam harus diusahakan
agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
2. Eksploitasinya harus di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi
sumber daya alam.
3. Diperlukan kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang
ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan
pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
4. Di dalam pengelolaan sumber daya alam hayati perlu adanya
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Teknologi yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumber
daya untuk pembaruannya.
b. Sebagian hasil panen harus digunakan untuk menjamin
pertumbuhan sumber daya alam hayati.
c. Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya
dengan daur ulang.
d. Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses
pembaruannya.
5. Sumber Daya Manusia
Manusia dibedakan dari sumber daya alam hayati lainnya karena manusia memiliki kebudayaan, akal, dan budi yang tidak dimiliki oleh tumbuhan maupun hewan. Meskipun paling tinggi derajatnya, namun dalam ekosistem, manusia juga berinteraksi dengan lingkungannya, mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungannya sehingga termasuk dalam salah satu faktor saling ketergantungan. Berbeda dengan sumber daya hayati lainnya, penggunaan sumber daya manusia dibagi dua, yaitu sebagai berikut :
a. Manusia sebagai sumber daya fisik
Dengan energi yang tersimpan dalam ototnya manusia dapat bekerja
dalam berbagai bidang, antara lain: bidang perindustrian,
transportasi, perkebunan, perikanan, perhutanan, dan peternakan.
b. Manusia sebagai sumber daya mental
Kemampuan berpikir manusia merupakan suatu sumber daya alam
yang sangat penting, karena berfikir merupakan landasan utama bagi kebudayaan. Manusia sebagai makhluk hidup berbudaya, mampu
mengolah sumber daya alam untuk kepentingan hidupnya dan mampu
mengubah keadaan sumber daya alam berkat kemajuan ilmu dan
teknologinya. Dengan akal dan budinya, manusia menggunakan
sumber daya alam dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karena itu,
manusia tidak dilihat hanya sebagai sumber energi, tapi yang
terutama ialah sebagai sumber daya cipta (sumber daya mental) yang
sangat penting bagi perkembangan kebudayaan manusia.
21.14 | | 0 Comments
Pengertian Sumber Daya Alam – Macam SDA dan Jenisnya
Pengertian Sumber Daya Alam adalah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin, cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik).
pada dasarnya Alam mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan tersebut.
Semua kekayaan yang ada di bumi ini, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.
sebelum membahas lebih jauh lagi tentang sumber daya alam disini akan dibahas pula mengenai kebutuhan hidup manusia berdasarkan urutan kepentingan.
Berdasarkan urutan kepentingan, kebutuhan hidup manusia, dibagi menjadi dua yaitu.
1. Kebutuhan Dasar
Kebutuhan ini bersifat mutlak diperlukan untuk hidup sehat dan aman. Yang termasuk kebutuhan ini adalah sandang, pangan, papan, dan udara bersih.
2. Kebutuhan sekunder
Kebutuhan ini merupakan segala sesuatu yang diperlukan untuk lebih menikmati hidup, yaitu rekreasi, transportasi, pendidikan, dan hiburan.
Mutu lingkungan
Pandangan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memang berbeda-beda karena antara lain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pertimbangan kebutuhan, sosial budaya, dan waktu.
Semakin tinggi tingkat pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup, maka semakin baik pula mutu hidup. Derajat pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam kondisi lingkungan disebut mutu lingkungan.
Daya dukung lingkungan
Ketersediaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan tersedianya cukup ruang untuk hidup pada tingkat kestabilan sosial tertentu disebut daya dukung lingkungan. Singkatnya, daya dukung lingkungan ialah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan semua makhluk hidup.
Penyebaran sumber daya alam di bumi ini tidaklah merata letaknya. misalnya ada bagian bagian bumi yang sangat kaya akan mineral, ada pula yang tidak. Ada yang baik untuk pertanian ada pula yang tidak. Oleh karena itu, agar pemanfaatannya dapat berkesinambungan, maka tindakan eksploitasi sumber daya alam harus disertai dengan tindakan perlindungan. Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional antara lain sebagai berikut :
1. Memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dengan hati-hati dan efisien, misalnya: air, tanah, dan udara.
2. Menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran).
3. Mengembangkan metoda menambang dan memproses yang efisien, serta pendaurulangan (recycling).
4. Melaksanakan etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara damai dengan alam.
Macam-macam sumber Daya Alam
Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, potensi, dan jenisnya.
a. Berdasarkan sifat
Menurut sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut :
1. Sumber daya alam yang terbarukan (renewable), misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba, air, dan tanah. Disebut ter barukan karena dapat melakukan reproduksi dan memiliki daya regenerasi (pulih kembali).
2. Sumber daya alam yang tidak terbarukan (nonrenewable), misalnya: minyak tanah, gas bumf, batu tiara, dan bahan tambang lainnya.
3. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya, udara, matahari, energi pasang surut, dan energi laut.
b. Berdasarkan potensi
Menurut potensi penggunaannya, sumber daya alam dibagi beberapa macam, antara lain sebagai berikut.
1. Sumber daya alam materi; merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan dalam bentuk fisiknya. Misalnya, batu, besi, emas, kayu, serat kapas, rosela, dan sebagainya.
2. Sumber daya alam energi; merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan energinya. Misalnya batu bara, minyak bumi, gas bumi, air terjun, sinar matahari, energi pasang surut laut, kincir angin, dan lain-lain.
3. Sumber daya alam ruang; merupakan sumber daya alam yang berupa ruang atau tempat hidup, misalnya area tanah (daratan) dan angkasa.
c. Berdasarkan jenis
Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut :
1. Sumber daya alam nonhayati (abiotik); disebut juga sumber daya alam fisik, yaitu sumber daya alam yang berupa benda-benda mati. Misalnya : bahan tambang, tanah, air, dan kincir angin.
2. Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba, dan manusia.
Uraian di sini hanya akan ditekankan pada sumber daya alam hayati, termasuk di dalamnya sumber daya manusia (SDM).
Sumber Daya Tumbuhan
Berbicara tentang sumber daya alam tumbuhan kita tidak dapat menyebutkan jenis tumbuhannya, melainkan kegunaannya. Misalnya berguna untuk pangan, sandang, pagan, dan rekreasi. Akan tetapi untuk bunga-bunga tertentu, seperti melati, anggrek bulan, dan Rafflesia arnoldi merupakan pengecualian karena ketiga tanaman bunga tersebut sejak tanggal 9 Januari 1993 telah ditetapkan dalam Keppres No. 4 tahun 1993 sebagai bunga nasional dengan masing-masing gelar sebagai berikut.
1. Melati sebagai bunga bangsa.
2. Anggrek bulan sebagai bunga pesona.
3. Raffiesia arnoldi sebagai bunga langka.
Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan tepung melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, tumbuhan merupakan produsen atau penyusun dasar rantai makanan.
Eksploitasi tumbuhan yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan dan kepunahan, dan hal ini akan berkaitan dengan rusaknya rantai makanan.
Kerusakan yang terjadi karena punahnya salah satu faktor dari rantai makanan akan berakibat punahnya konsumen tingkat di atasnya. Jika suatu spesies organisme punah, maka spesies itu tidak pernah akan muncul lagi. Dipandang dari segi ilmu pengetahuan, hal itu merupakan suatu ke rugian besar.
Selain telah adanya sumber daya tumbuhan yang punah, beberapa jenis tumbuhan langka terancam pula oleh kepunahan, misalnya Rafflesia arnoldi (di Indonesia) dan pohon raksasa kayu merah (Giant Redwood di Amerika). Dalam mengeksploitasi sumber daya tumbuhan, khususnya hutan, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
- Tidak melakukan penebangan pohon di hutan dengan semena-mena (tebang habis).
- Penebangan kayu di hutan dilaksanakan dengan terencana dengan sistem tebang pilih (penebangan selektif). Artinya, pohon yang ditebang adalah pohon yang sudah tua dengan ukuran tertentu yang telah ditentukan.
- Cara penebangannya pun harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak merusak pohon-pohon muda di sekitarnya.
- Melakukan reboisasi (reforestasi), yaitu menghutankan kembali hutan
- yang sudah terlanjur rusak.
- Melaksanakan aforestasi, yaitu menghutankan daerah yang bukan hutan untuk mengganti daerah hutan yang digunakan untuk keperluan lain.
- Mencegah kebakaran hutan. Kerusakan hutan yang paling besar dan sangat merugikan adalah kebakaran hutan. Diperlukan waktu yang lama untuk mengembalikannya menjadi hutan kembali.
a. Musim kemarau yang sangat panjang.
b. Meninggalkan bekas api unggun yang membara di hutan.
c. Pembuatan arang di hutan.
d. Membuang puntung rokok sembarangan di hutan.
Untuk mengatasi kebakaran hutan diperlukan hal-hal berikut ini.
a. Menara pengamat yang tinggi dan alat telekomunikasi.
b. Patroli hutan untuk mengantisipasi kemungkinan kebakaran.
c. Sistem transportasi mobil pemadam kebakaran yang siap digunakan.
Pemadaman kebakaran hutan dapat dilakukan dengan dua cara seperti berikut ini :
a. Secara langsung dilakukan pada api kecil dengan penyemprotan air.
b. Secara tidak langsung pada api yang telah terlanjur besar, yaitu melokalisasi api dengan membakar daerah sekitar kebakaran, dan mengarahkan api ke pusat pembakaran. Biasanya dimulai dari daerah yang menghambat jalannya api, seperti: sungai, danau, jalan, dan puncak bukit.
Pengelolaan hutan seperti di atas sangat penting demi pengawetan maupun pelestariannya karena banyaknya fungsi hutan seperti berikut ini :
- Mencegah erosi; dengan adanya hutan, air hujan tidak langsung jatuh ke permukaan tanah, dan dapat diserap oleh akar tanaman.
- Sumber ekonomi; melalui penyediaan kayu, getah, bunga, hewan, dan sebagainya.
- Sumber plasma nutfah; keanekaragaman hewan dan tumbuhan di hutan memungkinkan diperolehnya keanekaragaman gen.
- Menjaga keseimbangan air di musim hujan dan musim kemarau. Dengan terbentuknya humus di hutan, tanah menjadi gembur. Tanah yang gembur mampu menahan air hujan sehingga meresap ke dalam tanah, resapan air akan ditahan oleh akar-akar pohon. Dengan demikian, di musim hujan air tidak berlebihan, sedangkan di musim kemarau, danau, sungai, sumur dan sebagainya tidak kekurangan air.
Seperti pada ketiga macam bunga nasional, sejak tanggal 9-1-1995, ditetapkan pula tiga satwa nasional sebagai berikut :
1. Komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional darat.
2. Ikan Solera merah sebagai satwa nasional air.
3. Elang jawa sebagai satwa nasional udara.
Selain ketiga satwa nasional di atas, masih banyak satwa Indonesia yang langka dan hampir punah. Misalnya Cendrawasih, Maleo, dan badak bercula satu.
Untuk mencegah kepunahan satwa langka, diusahakan pelestarian secara in situ dan ex situ. Pelestarian in situ adalah pelestarian yang dilakukan di habitat asalnya, sedangkan pelestarian ex situ adalah pelestarian satwa langka dengan memindahkan satwa langka dari habitatnya ke tempat lain.
Sumber daya alam hewan dapat berupa hewan liar maupun hewan yang sudah dibudidayakan. Termasuk sumber daya alam satwa liar adalah penghuni hutan, penghuni padang rumput, penghuni padang ilalang, penghuni steppa, dan penghuni savana. Misalnya badak, harimau, gajah, kera, ular, babi hutan, bermacam-macam burung, serangga, dan lainnya.
Termasuk sumber daya alam hewan piaraan antara lain adalah lembu, kuda, domba, kelinci, anjing, kucing, bermacam- macam unggas, ikan hias, ikan lele dumbo, ikan lele lokal, kerang, dan siput.
Terhadap hewan peliharaan itulah sifat terbarukan dikembangkan dengan baik. Selain memungut hasil dari peternakan dan perikanan, manusia jugs melakukan persilangan untuk mencari bibit unggul guns menambah keanekaragaman ternak.
Dipandang dari peranannya, hewan dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Sumber pangan, antara lain sapi, kerbau, ayam, itik, lele, dan mujaer.
b. Sumber sandang, antara lain bulu domba dan ulat sutera.
c. Sumber obat-obatan, antara lain ular kobra dan lebah madu.
d. Piaraan, antara lain kucing, burung, dan ikan hiss.
Untuk menjaga kelestarian satwa Langka, maka penangkapan hewan-hewan dan juga perburuan haruslah mentaati peraturan tertentu seperti berikut ini :
- Para pemburu harus mempunyai lisensi (surat izin berburu).
- Senjata untuk berburu harus tertentu macamnya.
- Membayar pajak dan mematuhi undang-undang perburuan.
- Harus menyerahkan sebagian tubuh yang diburunya kepada petugas sebagai tropy, misalnya tanduknya.
- Tidak boleh berburu hewan-hewan langka.
- Ada hewan yang boleh ditangkap hanya pada bulan-bulan tertentu saja. Misalnya, ikan salmon pada musim berbiak di sungai tidak boleh ditangkap, atau kura-kura pads musim akan bertelur.
- Harus melakukan konvensi dengan baik. Konvensi ialah aturan-aturan yang tidak tertulis tetapi harus sudah diketahui oleh si pemburu dengan sendirinya. Misalnya, tidak boleh menembak hewan buruan yang sedang bunting, dan tidak boleh membiarkan hewan buas buruannya lepas dalam keadaan terluka.
Sumber Daya Mikroba
Di samping sumber daya alam hewan dan tumbuhan terdapat sumber daya alam hayati yang bersifat mikroskopis, yaitu mikroba. Selain berperan sebagai dekomposer (pengurai) di dalam ekosistem, mikroba sangat penting artinya dalam beberapa hal seperti berikut ini :
a. sebagai bahan pangan atau mengubah bahan pangan menjadi bentuk lain, seperti tape, sake, tempe, dan oncom
b. penghasil obat-obatan (antibiotik), misalnya, pinisilin
c. membantu penyelesaian masalah pencemaran, misalnya pembuatan biogas dan daur ulang sampah
d. membantu membasmi hama tanaman, misalnya Bacillus thuringiensis
e. untuk rekayasa genetika, misalnya, pencangkokan gen virus dengan gen sel hewan untuk menghasilkan interferon yang dapat melawan penyakit karena virus.
Rekayasa genetika dimulai Tahun 1970 oleh Dr. Paul Berg. Rekayasa genetika adalah penganekaragaman genetik dengan memanfaatkan fungsi materi genetik dari suatu organisme. Cara-cara rekayasa genetika tersebut antara lain: kultur jaringan, mutasi buatan, persilangan, dan pencangkokan gen. Rekayasa genetika dapat dimanfaatkan untuk tujuan berikut ini :
1. mendapatkan produk pertanian baru, seperti “pomato”, merupakan persilangan dari potato (kentang) dan tomato (tomat)
2. mendapatkan temak yang berkadar protein lebih tinggi
3. mendapatkan temak atau tanaman yang tahan hama
4. mendapatkan tanaman yang mampu menghasilkan insektisida sendiri.
Akhir-akhir ini tampak bahwa penggunaan sumber daya alam cenderung naik terus, karena:
a. pertambahan penduduk yang cepat
b. perkembangan peradaban manusia yang didukung oleh kemajuan sains dan teknologi.
Oleh karena itu, agar sumber daya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang panjang maka hal-hal berikut sangat perlu dilaksanakan.
1. Sumber daya alam harus dikelola untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, tetapi pengelolaan sumber daya alam harus diusahakan agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
2. Eksploitasinya harus di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi sumber daya alam.
3. Diperlukan kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang
ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
4. Di dalam pengelolaan sumber daya alam hayati perlu adanya pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
- Teknologi yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumber daya untuk pembaruannya.
- Sebagian hasil panen harus digunakan untuk menjamin pertumbuhan sumber daya alam hayati.
- Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya dengan daur ulang.
- Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses pembaruannya.
21.07 | | 0 Comments
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Adat Dayak
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Adat Dayak
Pengantar
Sampai saat ini, pandangan terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam (PSDA) yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak masih keliru. Coba saja simak litani terhadap masyarakat adat Dayak yang berkaitan dengan PSDA berikut ini: Peladang berpindah; Perambah hutan; Penyebab kabut asap; Pemalas; Tidak efesien; Tidak produktif; Dimanja oleh alam; Mengaku-ngaku tanah, hutan hanya milik mereka; Wilayah kelolanya tidak jelas (tidak bersertifikat); Tidak mau mentaati aturan negara; Bertameng pada wilayah adat dan hukum adat; Membiarkan lahan “tidur”, dll.Inilah sebagian dari litani yang sering diucapkan oleh mereka yang kurang paham terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak. Padahal, litani tersebut telah terbantahkan melalui berbagai kajian dan penelitian banyak pihak. Untuk mengurangi litani-stigmatisasi tersebut di atas, tulisan ini akan memaparkan bagaimana sistem pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak disertai beberapa contohnya. Dan pada bagian akhir tulisan ini akan ditutup dengan warning yang disampaikan oleh Charles Brooke.
Tulisan ini sebagian besar diringkas dari kajian yang dilakukan oleh John Bamba yang terdapat di buku Dayak Jalai Di Persimpangan Jalan terutama di bab VIII. Kemudian pada bagian contoh PSDA diringkas dari hasil pendokumentasian dan penelitian yang dilakukan oleh Institut Dayakologi.
Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Alam
Masyakarat adat Dayak memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang khas yang memadukan aspek kemandirian, keberlanjutan dan kemanfaatan secara integratif. Sistem pengelolaan ini ditopang oleh pandangan mereka tentang Dunia (worldviews) yang melihat seluruh alam beserta isinya sebagai satu kesatuan yang saling mendukung dan bukan menghancurkan. Ketiga aspek ini (kemandirian, keberlanjutan dan kemanfaatan) dijadikan fondasi dalam melahirkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan wilayah adat yang tercermin dalam 7 prinsip berikut ini.1.Kesinambungan
Dalam pandangan masyarakat adat Dayak, alam beserta isinya tidak berfungsi secara ekonomis semata. Orang tidak hanya mencari makan ketika dia berhubungan dengan alam. Binatang-binatang yang menjadi sahabat dan penolong manusia, tempat-tempat keramat yang menjadi tempat manusia bertemu dan berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang serta berbagai ritual dalam kehidupan yang mereka jalankan membutuhkan alam dalam kondisi yang baik dan lestari. Manfaat secara ekonomis adalah akibat dari perlakuan manusia terhadap alam, bukan tujuan. Jika alam diperlakukan sesuai dengan jati dirinya sebagaimana yang tercermin dalam berbagai adat istiadat, alam akan membawa akibat berupa kebaikan bagi manusia termasuk secara ekonomis. Jika manfaat ekonomis dijadikan tujuan dari perlakuan manusia terhadap alam, maka pertimbangan-pertimbangan lain harus dikalahkan demi pertimbangan ekonomis.
Salah satu karakteristik dasar yang membedakan aktivitas yang menjadikan manfaat ekonomis sebagai akibat dan sebagai tujuan dalam pengelolaan alam adalah jenis tanaman yang dikelola. Aktivitas yang melihat manfaat ekonomis sebagai akibat akan menekankan unsur kealamiahan alam yang dikelola, dalam kasus di Kalimantan, dengan kata lain unsur keanekaragaman tanamannya. Dengan mempertahankan keanekaragaman yang menjadi ciri alam Kalimantan, alam dikelola sesuai dengan prasyarat dasar yang menjadi daya dukungnya. Ciri ini terlihat dengan jelas dalam kasus kebun karet, kebun buah-buahan dan bahkan keanekaragaman tanaman yang ada di ladang masyarakat adat Dayak. Kebun karet milik masyarakat adat Dayak yang sering disebut dengan stereotipe “Hutan Karet” sesungguhnya secara tepat merefleksikan realitas sesungguhnya dari “kebun” yang dimaksud yakni “pohon-pohon karet di tengah-tengah hutan yang asri”.
Sebaliknya, kebun kelapa sawit atau kebun pohon Akasia misalnya, merupakan contoh kebalikannya; yakni pengelolaan alam yang menjadikan manfaat ekonomis sebagai tujuan. Karena itu, tanamannya harus satu jenis agar dapat menghasilkan produk secara massal dan membanjiri pasar. Dalam perspektif ini, keanekaragaman tanaman justru menjadi penghambat tujuan yang ingin dicapai, sehingga tanaman-tanaman lain harus dibasmi dengan berbagai racun kimia yang sesungguhnya tidak hanya mematikan bagi tanaman, tetapi juga manusia dan binatang. Multikulturisme adalah penghalang Produktifitas. Prinsip pemanfaatan yang berkesinambungan ini juga tergambar dengan jelas dalam adat-istiadat dalam memanen jenis buah tertentu. Pada sebagian besar mayarakat adat Dayak, buah-buahan dikategorikan dalam 3 kelompok: pertama, buah yang hanya dipungut hasilnya ketika sudah jatuh ke tanah(durian, sembawang dll.); kedua, buah yang boleh dipotong dahannya atau buah pantuhan (rambutan, ketuat, dll.) dan ketiga, buah yang harus dipetik dengan menggunakan galah atau buah julukan (mentawa’, tebadak, dll.). Pada jenis buah tertentu yang memerlukan waktu yang lama untuk berproduksi serta akan mati jika dipotong dahannya, berlaku adat yang melarang masyarakat untuk memotong dahannya (lansat, duku, durian dll.).
2.Kebersamaan
Alam tidak dipandang sebagai asset atau kekayaan melainkan sebagai “rumah” bersama. Konsep “rumah bersama” ini secara sederhana dapat dilihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu dimana selalu terdapat unsur “permisi” pada penghuni alam ini. Bahkan dalam kegiatan memilih lahan yang akan digarap sebagai lokasi ladang yang baru, kegiatan meminta ijin dari penghuni lokasi yang akan digarap ini juga dilakukan. Suara burung tertentu atau bertemu dengan binatang tertentu dalam proses upacara adat membuka lahan menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam yang lain.
Dengan memperlakukan alam sebagai “rumah bersama” antara manusia dan mahluk yang lain, maka perlakuan terhadap alam juga menjadi berbeda. Alam tidak diekploitasi demi kepentingan manusia semata, melainkan juga dengan memperhatikan kepentingan mahluk lainnya. Karenanya, kegiatan-kegiatan yang exploitatif dan destruktif selalu dihindari demi menjaga keharmonisan antara manusia dan penghuni alam lainnya.
Lahan untuk berladang yang belum pernah digarap (biasanya terletak di antara batas kampung yang satu dengan kampung yang lain) boleh dimanfaatkan oleh siapa saja yang menjadi warga kampung yang bersangkutan. Ikan di sungai, binatang di hutan boleh ditangkap dan diburu oleh semua warga kampung yang bersangkutan. Kebun buah-buahan yang menjadi peninggalan nenek moyang boleh dimanfaatkan hasilnya oleh semua warga.
Ini tidak berarti bahwa sistem pengelolaan alam yang berlaku bersifat komunal total sebab hak-hak individu juga dihormati dan diakui oleh seluruh warga. Lahan yang telah digarap oleh salah seorang warga dan kemudian dijadikan kebun, dijamin haknya secara individu. Bahkan bekas ladang yang tidak ditanami oleh pemiliknya-pun, wajib meminta ijin jika warga lain ingin menggarapnya. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa penguasaan sumber daya alam pada masyarakat adat Dayak tidak berdasarkan pada prinsip komunal seperti yang berlaku di negara-negara komunis, maupun individual seperti yang berlaku pada negara-negara kapitalis. Prinsip yang berlaku adalah kolektifitas atau kebersamaan.
Prinsip Kebersamaan ini berimplikasi terhadap cara pengelolaan wilayah adat yang juga berdasarkan kerjasama, bukan persaingan. Bentuk kerjasama tersebut tergambar dalam adat bejuruk-bebarai (Dayak Jalai), belalek (Dayak Kanayatn), ruyong (Dayak Mualang), dan istilah lain sesuai bahasa setempat. Hal ini bertolak belakang dengan semangat Persaingan yang dikembangkan berdasarkan prinsip Individualitas. Dalam perspektif ini, siapa yang kuat modalnya, yang lebih pintar dan berkuasa, dialah yang menang. Prestasi diukur berdasarkan hasil yang dicapai orang per orang (individu) melalui persaingan bebas. Prestasi kelompok diukur dengan menjumlahkan prestasi individu-individu dibagi dengan jumlah kelompok sehingga dihasilkan rerata, tanpa memperdulikan apakah ada kesenjangan atau perbedaan yang sangat mencolok antara sekelompok orang dengan beberapa orang lainnya.
3.Alamiah
Masyarakat adat Dayak umumnya percaya bahwa alam telah memiliki mekanisme sendiri dalam memperbaharui dirinya dan manusia perlu secara cermat menangkap berbagai tanda alam yang ada yang memberikan petunjuk bagi manusia untuk menjaga proses tersebut. Oleh sebab itu, manusia perlu menghindari tindakan intervensi berlebihan terhadap alam yang dilakukan dengan sarana-sarana yang merusak.
Jika jagung misalnya, memang hanya memiliki satu tongkol buah, tidak perlu dipaksanakan agar menjadi dua tongkol terutama jika sampai harus memakai cara-cara yang justru merusak kelestarian alam. Demikian pula halnya dengan padi yang selama setahun, orang Dayak hanya bisa panen satu kali; tdak perlu dipaksakan harus menjadi 2-3 kali panen setahun sehingga harus mempergunakan berbagai bahan berupa pupuk dan racun kimia yang merusak alam dan membahayakan mahluk hidup termasuk manusia.
Sikap ini sama sekali bukanlah Fatalisme atau menyerah pada nasib, melainkan menghindari pemaksanaan terhadap realitas alam yang memiliki batas-batas tertentu sebagai prasyarat kelestariannya. Oleh karena itu, masyarakat adat Dayak tidak mengenal penggunaan berbagai bahan kimia sebagai pupuk atau racun hama. Pupuk yang digunakan adalah pupuk alam (organik)seperti abu dari tanah yang dibakar; hama tanaman ditanggulangi dengan memperbaharui kembali hubungan dengan unsur alam lainnya melalui berbagai ritual (seperti ritual Baabuang Hulat pada Dayak Jalai). Cara ini memang akan memperlambat manusia dalam mencapai dan mengembangkan berbagai prestasi intelektual, rekayasa teknologi serta manfaat-manfaat ekonomis, namun menjamin kelestarian alam yang berkesinambungan serta kehidupan yang lebih manusiawi.
4.Spiritualitas
Prinsip pengelolaan alam tidak perlu dicari-cari kaitannya dengan kepercayaan yang dimiliki, sebab bagi masyarakat adat Dayak, pengelolaan alam merupakan bagian dari spiritualitas. Karena itu, dalam sistem pengelolaan alam yang dijalankan, penuh dengan berbagai ritual yang meneguhkan keyakinan akan persatuan mereka dengan alam yang dihuninya.
Ritualitas ini merupakan konsekwensi dari pandangan bahwa pengelolaan alam merupakan bagian dari spiritualitas yang melekat dalam kehidupan masyarakat adat Dayak. Alam adalah ‘Rumah Ibadah’ mereka dan karena merupakan tempat ibadah, maka alam harus dijaga kesucian dan kemurniannya. Karena itu, ketika membakar ladang pada musim tanam yang baru, api dijaga sedemikian rupa sehingga tidak merambat ke hutan sekelilingnya. Hal itu dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan memperhatikan arah angin sebelum membakar, membersihkan sekeliling ladang (peladangan = sekitar 2-3m disekeliling ladang), membuat dan mempersiapkan alat-alat pemadam api dari bambu dan tanaman basah lainnya serta air, membakar serentak mulai dari tepi sekeliling ladang sehingga api membakar ke arah tengah serta melakukan pembakaran dengan mengundang anggota warga lainnya untuk bersama-sama menjaga api. Api yang tidak mampu dikendalikan dan membakar hutan sekeliling ladang merupakan malapetaka (bukan berkah supaya dapat menguasai tanah warga masyarakat lain), sebab akan menghancurkan kebun karet, buah-buahan, tempat keramat dan bahkan kuburan yang ada. Tiada bencana yang lebih besar bagi masyarakat adat Dayak selain jika tempat keramat mereka hangus dilalap api.
Karena itulah, prinsip spiritualitas ini jauh lebih penting dari pada rasionalitas yang bertumpu pada “prinsip-prinsip ilmiah” dan seringkali mengingkari realitas spiritual yang diyakini. Rasionalitas seringkali membawa orang pada keputusan-keputusan yang justru irasional terutama jika hal itu menyangkut keadilan dan kemanusiaan. Demikian pula prinsip-prinsip ilmiah yang meyakini adanya kebenaran yang berlaku secara universal, kadang-kadang justru menjadi “tahyul” berupa pendewaan ilmu yang menyebabkan orang mengingkari realitas sosial yang berbeda yang ada di sekelilingnya.
5.Proses
Dalam mengelola wilayah adatnya, masyarakat adat Dayak menekankan pentingnya proses yang dijalani apakah telah sesuai dengan adat istiadat yang berlaku atau tidak. Pentingnya proses tersebut menyebabkan berbagai ritual yang harus dilaksanakan mutlak dijalankan karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengelolaan tersebut. Akibatnya, banyak kalangan yang salah paham yang memandang berbagai ritual itu semata-mata sebagai pemborosan dan kegiatan pesta pora yang tidak efisien. Hal ini dapat dipahami mengingat paradigma yang dianut oleh masyarakat adat dengan kalangan yang memandang alam semata-mata sebagai aset ekonomis memang berbeda.
Aktivitas pasca panen misalnya yang selalu diikuti oleh berbagai ritual seperti upacara menaikkan padi ke dalam lumbung (Menjulang Atuq: Dayaka Jalai) makan padi baru (Kaambarahuan/Baansabatan) dan menandai pergantian tahun lama dan tahun baru (Menyapat Tahun) dipahami oleh kalangan luar sebagai kegiatan pesta pora yang tiada gunanya. Bagi masyarakat adat Dayak, hal ini justru berlaku sebaliknya. Ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari proses yang harus dijalani dalam rangka menjaga keseimbangan alam serta sikap yang harus ditunjukkan oleh manusia setelah menerima berkah dari alam yang diolahnya.
6.Subsistensi
Berbeda dengan ekonomi kapital yang dijalankan dalam rangka melayani kebutuhan pasar, ekonomi masyarakat adat bertumpu pada subsistensi untuk melayani kebutuhan sendiri. Karena itu, dalam sistem ekonomi kapitalis, komersialisme produk merupakan prasyarat agar mampu bersaing di pasar. Hal ini membawa konsekwensi pada peningkatan mutu produk secara terus menerus, menarik perhatian dan dalam jumlah yang besar guna menguasai pasaran. Dalam sistem ekonomi yang subsisten, masyarakat adat Dayak tidak perlu memproduksi dalam jumlah yang besar dan mutu yang selalu tertinggi. Ini tentu saja membawa konsekwensi pada produk-produk yang dihasilkan yang terbatas dalam segi jumlah dan mutunya. Meskipun kualitas tidak diabaikan sama sekali, namun faktor estetis hanya terbatas dalam ruang lingkup komunitas yang bersangkutan, tanpa perlu menyaingi produk lain sejenis yang ada di pasar. Hal ini tentu saja berimplikasi pula pada inovasi-inovasi yang dilakukan. Dalam rangka memenangkan persaingan, ekonomi yang melayani kebutuhan pasar memaksimalkan inovasi yang dilakukan termasuk melalui proses rekayasa ilmiah yang berimplikasi pada penggunaan sarana dan prasarana hasil rekayasa tersebut seperti bahan-bahan kimia tertentu. Bandingkan misalnya antara ayam pedaging (ras) yang diberi makanan dan suntikan kimia—bahkan kadang-kadang dipotong kaki dan paruhnya--supaya bisa cepat gemuk, bandingkan dengan ayam kampung yang dipelihara lebih secara alamiah. Hal yang sama dapat dilihat pada proses penanaman padi di payaq dan di sawah irigasi.
7.Hukum Adat
Hukum adat yang berlaku lokal mengatur sistem pengelolaan wilayah adat secara lokal pula. Hukum adat yang berakar pada budaya lokal ini, mengatur dan mengontrol proses pengelolaan wilayah adat yang dijalankan oleh warga komunitas agar sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Karena berskala lokal, hukum adat tidak perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan tuntutan pasar yang berkait berkelindan dengan kebutuhan ditingkat global. Hukum adat disusun lebih untuk menjamin tetap terjaganya kelestarian alam beserta seluruh isinya demi kepentingan masyarakat itu sendiri. Kawasan adat dibagi dalam beberapa kelompok berdasar pada peruntukannya.
Hak Kepemilikan
Hak milik warga benuaq/benua adalah kawasan dimana seluruh warga yang bermukim di benuaq tertentu memiliki hak kepemilikan yang sama. Yang termasuk hak milik benuaq adalah kuburan, tempat keramat, kampung buah, rimba dan areal perladangan termasuk tempat berburu, sungai, sarang lebah yang belum dimiliki, buah-buahan yang tumbuh liar di hutan umum, sarang burung yang belum ada pemiliknya serta pohon-pohon lain yang bermanfaat dan tumbuh di kawasan yang menjadi hak milik benuaq.1. Hak Milik Individu
Hak milik individu atas tanah dan tanam-tumbuh di atasnya diperoleh melalui cara-cara berikut ini:
- Bekas ladang yang setelah panen ditanami dengan tanaman keras seperti pohon buah-buahan atau tanaman produktif lainnya seperti karet, kopi, rotan dlsb.
- Warisan orangtua
- Lahan yang diadati (dipudas) meskipun tidak ada tanaman kerasnya. Lahan yang dipudas adalah lahan yang ketika digarap menyebabkan kecelakaan atau penyakit bagi penggarapnya sehingga harus dilakukan upacara adat. Lahan yang dipudas termasuk hak milik pribadi karena orang yang memudas telah mengeluarkan sejumlah biaya sehingga bagi orang lain yang ingin menggarap lahan tersebut harus mengganti biaya yang telah dikeluarkan tersebut.
- Bawas bekas rimba yang digarap. Dengan kata lain, menjadi penggarap pertama lahan rimba. Penggarap berikutnya harus membayar hukuman adat yang disebut kerangahan beliung (lihat di bawah).
- Lahan yang diperoleh dengan membayar hukuman kerangahan beliung, yakni menjadi penggarap ke-2 dan ke-3 atas bawas bekas rimba (lihat di atas).
- Lahan yang dibeli dari warga se-kampung. Ini terutama berlaku pada masa sekarang.
- Lahan yang diperoleh sebagai pembayaran hukuman adat (denda adat yang dibayar dengan tanah).
- Tempat memasang perangkap ikan di sungai, misalnya buangan/lumpatan atau pempambang di riam, tabaq tekalak, tabing, tabur atau bubuq di sungai kecil. Jika ada orang lain yang memasang perangkap di tempat yang telah dimiliki secara individu tersebut, maka dapat didenda dengan hukum adat.
- Tepian atau tempat pemandian di pondok ladang. Orang lain dilarang menuba di hulu sungai tempat pemandian tersebut tanpa ijin.
- Tempat memasang perangkap binatang di atas tanah seperti belantik dan lubang. Jika ada orang lain yang mengambil alih tanpa ijin, maka akan dikenakan hukum adat.
- Pohon madu tempat lebah bersarang (lalau) termasuk rampuk (sarang lebah dipohon tertentu), sarang burung tingang, penagung, kakah, ruiq, kekalau yang membuat lubang di pohon kayu sebagai sarangnya.
- Pohon belian yang telah ditebang. Meskipun sudah puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang bahkan sudah meninggal dunia, maka keturunannya masih memiliki hak atas pohon belian tersebut.
- Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen pertama kali.
- Pohon buah yang tumbuh liar di hutan dan telah ditandai.
- Harta warisan
Yang termasuk hak milik seketurunan adalah dahas-dakar (pedahasan pada Dayak Jalai, tembawang, dll), kebun buah-buahan, kebun karet, rotan dll. Masih banyak hak seketurunan yang tidak berhubungan dengan tanah yakni tempat memasang perangkap ikan di sungai, tempat memasang perangkap binatang di atas tanah dan di atas pohon, pohon tempat lebah bersarang, pohon belian yang sudah ditebang, meskipun sudah puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang bahkan sudah meninggal dunia, maka keturunannya masih memiliki hak pohon belian tersebut. Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen pertama kali.
3. Hak Milik Umum atau publik
Yang termasuk hak milik umum/publik adalah tempat pemukiman, tempat berburu, tempat menangkap ikan di sungai (menjala, memancing dll), memulut, memasang jerat, membuah, tempat berladang, tempat keramat.
Bukti Kepemilikan
Karena masyarakat adat Dayak tidak mengenal tradisi tulisan, maka “dokumen” yang mereka miliki sebagai bukti kepemilikan atas wilayah adat adalah dalam bentuk fisik dan non-fisik.Bukti Non-Fisik
- Ceritera asal-usul dan kesaksian.
- Pengelolaan.
- Penemu atau Penggarap Pertama.
- Upacara Adat.
Bukti Fisik
Bukti fisik terdapat dalam berbagai jenis. Bukti yang paling penting adalah unsur-unsur yang merupakan hasil karya pemiliknya. Di bawah ini disebutkan beberapa bukti fisik tersebut;
- Tanaman
- Tanda-Tanda Khusus
Tempat pijakan kaki ketika memanjat (jantak) yang dipasang pada pohon madu atau pohon dimana ada rongga tempat burung tertentu bersarang di atasnya, juga merupakan bukti kepemilikan yang sah. Tanda lain dapat berupa tanda penunjuk yang dibuat dari kayu yang dijepitkan pada sebatang bambu atau pohon untuk menunjuk ke arah obyek yang telah dimiliki haknya.
- Konflik Internal & Penyelesaiannya
Contoh Pengelolaan Sumber Daya Alam pada Dayak Jalai
Masyarakat adat Dayak Jalai yang berada di Desa Tanggerang, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang, telah mengenal sistim pelestarian sumber daya alam di sekitarnya dan menjadi tradisi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pemanfaatan dan pelestrian sumber daya alam, masyarakat adat Dayak Jalai telah mengenal sistem ladang, rimbaq, tempat keramat, dan pekampungan.1. Rasap Sebelum membuka ladang utama (lakau), jika dianggap perlu, orang Dayak Jalai biasanya membuka ladang kecil yang luasnya berkisar antara ½ - ¾ hektar yang disebut rasap. Rasap biasanya dikerjakan di atas lahan muda yang baru berumur antara 2-3 tahun, sehingga rasap tersebut cuma perlu ditakas, yakni ditebas belukarnya kemudian ditebang pohon bambunya. Karena usia lahan masih sangat muda, proses menebang tidak diperlukan. Rasap berfungsi sebagai lakau tambahan bagi pemiliknya.
Meskipun demikian, rasap ditanami dengan berbagai jenis tanaman sebagaimana layaknya sebuah lakau. Hanya saja, pada sebuah rasap proses ritual yang berlaku pada lakau tidak dilakukan kecuali baabuang hulat. Rasap juga biasanya hanya dikerjakan secara pribadi oleh keluarga penggarapnya. Meskipun biasa juga terjadi, namun pengerjaan sebuah rasap jarang melibatkan kerja gotong royong yang dikenal dengan istilah sambayan.
2.Pesapatan/Pererapat/Pesopingan Hutan diantara lakau mudaq dan lakau yang sedang digarap yang berfungsi sebagai hutan cadangan. Luasnya sekitar 25-20m diantara lakau mudaq dan lakau baru. Fungsinya sebagai cadangan untuk berbagai keperluan seperti kebutuhan akan kayu dan keperluan lainnya di lakau yang baru seperti bahan untuk membuat pondok, pagar, kandang ternak dlsb.
3.Ladang atau Lakau (Belakau Behumaq Betanam Betumbuh) Lakau atau ladang merupakan kegiatan ekonomi yang paling sentral karena dari ladanglah (belakau behumaq betanam betumbuh) semua bentuk pengelolaan kawasan berawal. Kebun karet, kebun buah-buahan, pedahasan, sampai pada komunitas baru yang terbentuk semuanya berawal dari sebuah lakau. Dalam membuka lahan untuk lakau, Dayak Jalai berpegang pada hukum adat dan tradisi yang berlaku.
Untuk mencari lahan yang cocok mereka terlebih dahulu mencari pertanda-pertanda seperti bunyi burung terutama burung Kuap, kijang atau rusa. Jika rusa berbunyi saat akan pergi menyandam, maka calon pemilik ladang tidak akan membuka lahan tersebut, mereka harus mencari lahan lain yang cocok. Jika sudah ditemukan lahan yang cocok, maka mereka akan memulai pekerjaan berladang. Jka pertanda tersebut baru muncul ketika ladang sudah dibakar, maka ladang tersebut tetap dilanjutkan pengerjaannya dengan mengadakan upacara adat Sesilih (upacara penebusan). Lokasi ladang yang pernah dijadikan tempat melahirkan Kukang dipercaya tidak baik untuk dijadikan ladang.
Pekerjaan yang pertama-tama dimulai yaitu menabas (membersihkan belukar dan pohon kecil), menyakat (menebang bambu) dan menabang (menebangi pohon-pohon besar). Pekerjaan menabas, menyakat dan menabang sengaja dilakukan secara berurutan agar belukar, bambu dan pohon yang ditebang dapat mengering secara merata sehingga tiba saatnya membakar, lahan bisa terbakar dengan sempurna.
Setelah sebulan atau lebih lahan ditebangi, maka pekerjaan berikutnya adalah mencucul (membakar). Menurut tradisi masyarakat setempat sebelum membakar, sekeliling ladang dibersihkan antara 3-5 meter dari hutan (diladangiq). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar api tidak merambat ke hutan dan kawasan sekeliling, bekas ladang yang telah ditanami karet maupun ke lokasi kebun karet yang produktif. Dalam pekerjaan membakar ini si pemilik ladang biasanya mengajak kawan-kawannya menjaga api agar jangan sampai merambat ke kawasan hutan atau kebun. Pembersihan dan pembakaran dalam penyiapan lahan dimaksudkan sebagai proses penyuburan tanah, sehingga hasil/kegiatan perladangan tidak mengalami kegagalan. Selain itu, pembakaran juga berfungsi untuk membasmi benih-benih rumput dan belukar yang dapat mengganggu tanaman padi kelak.
Dalam membuat ladang, orang Dayak Jalai juga melakukan upacara-upacara ritual seperti upacara Menyandam (upacara minta ijin kepada Duwataq/Penguasa alam semesta untuk memulai kegiatan berladang kembali), Menimbung (upacara menurunkan benih padi dari lumbung), Baabuang Hulat (upacara memohon kepada Sang Pencipta agar dapat mengusir hama dan penyakit yang dapat menyerang tanaman padi), Baansabatan (upacara adat yang dilakukan untuk membersihkan kampung dari segala kesalahan yang dibuat masyarakat terhadap tanah dan air, sehingga dengan dilaksanakan upacara ini ladang yang akan dibuat tahun depan bebas dari hama dan penyakit) dan Menjulang Atuq (upacara menyimpan padi dari rumah ke lumbung).
Ladang juga ditanam berjenis-jenis padi, sayur, ubi kayu, ubi jalar, tebu dll. Masyarakat menanam padi selain untuk mendapatkan hasilnya juga untuk memperbaharui berbagai jenis benih padi agar tidak punah. Dengan demikian sistem perladangan ikut pula menyelamatkan berbagai jenis padi lokal yang ternyata lebih unggul dari padi rekayasa genetika. Luas ladang biasanya berkisar antara 1-2 hektar.
4.Sawah (Payaq atau Leladak) Pengertian sawah (payaq/leladaq) pada masyarakat adat Dayak Jalai berbeda dengan sawah seperti yang ada di pulau Jawa. Payaq tidak mengenal penggunaan zat kimia dan pengerjaannyapun dilakukan secara manual. Proses pengerjaan sebuah payaq biasanya dimulai dengan menabas, mencucul, memancah/memapat (memotongi rumput-rumputan atau belukar sisa pembakaran) dan meabur (menabur benih padi) atau menandur (menanam benih padi yang sudah disemaikan terlebih dahulu).
Payaq letaknya bisa terpisah sama sekali dari lakau atau bersatu dengan sebuah lakau jika lakau tersebut kebetulan berada di dataran rendah dan terdapat sebuah payaq di dekatnya.
Sistem kepemilikan terhadap sebuah payaq sama dengan sebuah lakau. Namun karena sebuah payaq tidak mungkin ditanami dengan tanaman keras, maka pada jaman dahulu kala sebuah lahan payaq bisa saja digarap oleh penggarap lain sejauh ada ijin terlebih dahulu dari penggarap sebelumnya. Pada masa sekarang dimana lahan semakin sempit, payaq cenderung menjadi milik pribadi seseorang yakni penggarap sebelumnya.
5.Kebun (Kabun Pesasaq) Kabun Pesasaq adalah segala jenis kebun yang ditanami dengan tanaman keras selain buah-buahan. Termasuk di dalamnya adalah kebun karet, kebun rotan, kebun kopi dlsb.
6.Kebun Buah-Buahan (Kampung-Kayuan) Kampung Buah adalah kawasan yang berisi berbagai jenis pohon buah-buahan peninggalan generasi sebelumnya. Kawasan ini dilindungi oleh adat sebab selain berisi berbagai jenis pohon buah-buahan, kawasan ini juga merupakan tempat hidup bermacam-macam jenis tumbuhan lainnya serta berbagai jenis binatang. Selain itu juga karena hutan ini biasanya berada di hulu sungai dan di bukit-bukit maka hutan ini juga berfungsi untuk menahan air. Kampung buah adalah kawasan yang dilindungi, karena itu masyarakat tidak boleh menggunakannya untuk areal ladang. Pada saat sekarang, dimana kampung buah semakin langka, bahkan menebang pohon buah milik pribadi juga ada sanksi adatnya.
'7.Tempat Keramat Tempat keramat merupakan tempat yang dipercayai sebagai tempat yang suci. Di tempat ini masyarakat adat Dayak Jalai biasanya berhubungan dengan Duataq (Penguasa langit dan bumi) dan arwah-arwah nenek moyang. Kawasan ini biasanya ditunjukkan dengan adanya tempat meletakkan berbagai persembahan yang terbuat dari bambu yang disebut rerumahan ancak.
Tempat keramat ini juga termasuk kawasan adat yang dilindungi oleh masyarakat, karena itu tempat ini tidak boleh dijadikan areal ladang atau diambil kayunya. Bila ada anggota masyarakat yang berani merusak kawasan tersebut maka ia akan dikenakan denda hukum adat yang berat. Selain itu, dipercayai juga bagi anggota masyarakat yang berani mengganggu kawasan ini akan mendapatkan malapetaka seperti sakit atau bahkan mati. Oleh sebab itu, dalam membakar ladang misalnya, masyarakat akan berusaha sekuat tenaga agar api tidak sampai merembet dan memusnaskah kebun dan tempat keramat mereka. Tempat keramat masyarakat Dayak Jalai ada bermacam-macam. Keramat yang paling utama dan dihormati oleh semua orang Dayak Jalai baik yang tinggal; di sepanjang Sungai Kiriq maupun di Sungai Jalai adalah Limpang Sayang Gajah Singit Tangga Batuq atau Gunung Limpang yang terdapat di dekat kampung Benatuq. Keramat ini sangat dihormati dan menjadi tempat orang bekaul-beniat dan bertapa untuk memperoleh kesucian atau permohonan tertentu. Tempat Keramat yang Terkenal adalah Gunung Limpang di dekat kampung Benatuq, Bulian Pemaliq dan Batuq Perapat Bunuh di Tanjung.
8.Pusat Kegiatan Pertanian (Dahas-Dakar) Pedahasan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi berjenis-jenis pohon buah-buahan dan pohon-pohon lainnya yang bermanfaat. Pedahasan merupakan kawasan independen milik salah satu warga kampung yang menjadi pusat kegiatan ekonomi pemiliknya. Karena itu, pedahasan biasanya menjadi tempat pemukiman kedua bagi sebuah keluarga di kampung sehingga di pedahasan terdapat pula rumah semi permanen yang didirikan untuk tempat bermalam bila keluarga yang bersangkutan terpaksa harus menginap di dekat ladangnya. Karena pedahasan merupakan tempat pemukiman alternatif, maka biasanya binatang-binatang peliharaan juga terdapat di pedahasan termasuk kolam ikan serta kebun karet yang ditanam dari bekas ladang tahun-tahun sebelumnya.
Konsep pedahasan ini semakin membuktikan bahwa masyarakat Dayak, terutama Dayak Jalai, tidak mengenal istilah ladang berpindah sebab mereka justru cenderung menetap di suatu kawasan pedahasan mereka dan melakukan kegiatan berladang di lokasi tersebut secara berrotasi dan berintegrasi dengan kegiatan lainnya. Sehingga tepatlah kiranya jika kegiatan masyarakat tersebut disebut Integrated Indigenous Farming System. Pedahasan sendiri jarang ditinggalkan (abandoned) oleh pemiliknya kecuali dia telah meninggal dunia dan keturunannya memilih lokasi perladangan di tempat lain, dan dengan demikian mendirikan pedahasan baru. Sebuah pedahasan, setelah beberapa generasi pemilik maupun keturunannya sudah tidak diketahui lagi bisa menjadi kampung dan milik seluruh warga.
9.Tempat Berburu dan Menangkap Ikan (pekarang pejaluq-an) Keberadaan hutan dan sungai yang terjaga kelestariannya memegang peranan yang penting dan sangat Vtal bagi orang Dayak Jalai. Kehidupan mereka yang subsisten, sangat tergantung pada keutuhan sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Kemampuan alam dalam menopang kehidupan masyarakat ini menentukan keutuhan sistem pengelolaan sumber daya alam yang telah mereka praktikkan selama ini dan terbukti mampu menjaga kelestarian dan keutuhan sumber daya alam yang ada. Bilamana keutuhan alam ini terganggu akibat masuknya berbagai proyek pembangunan yang merusak seperti perkebunan besar, HPH, HTI, Pertambangan dan Transmigrasi, maka sistem penyangga dan penopang kehidupan ini akan turut hancur sehingga memaksa masyarakat untuk mencari alternatif sumber penghasilan agar dapat menutupi kebutuhan yang sebelumnya diperoleh dari alam secara gratis. Dalam banyak kasus, alternatif tersebut tidak selamanya bersahabat dengan alam, apalagi jika alternatif lain sungguh sudah tidak tersedia lagi. Beberapa usaha yang terpaksa dipilih oleh masyarakat bisa berupa: mengolah bahan bangunan dari kayu di hutan dengan alat-alat yang berdaya rusak tinggi seperti chainsaw, mendulang emas dengan mengandalkan instink. Usaha-usaha tersebut umumnya dilakukan bilamana ada orang luar yang datang dan mengajak serta menyediakan modal.
Bagi orang Dayak Jalai, menangkap binatang liar-pun sebenarnya ada adat dan aturannya. Selain di hutan rimba yang jauh dari perkampungan, masyarakat juga dapat berburu di pedahasan dan bawas penduduk lainnya asalkan ada pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini penting untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi misalnya terkena perangkap yang dipasang oleh pemilik dahas atau ladang. Jika terjadi korban akibat perangkap yang dipasang seseorang, maka hukum adat tetap berlaku sebagaimana biasanya. Dalam hal ini jika si korban tidak sampai meninggal dunia tetapi hanya terluka, maka peradilan adat baru diadakan ketika si korban telah sembuh dari lukanya agar para tetua adat dapat mempertimbangkan secara tepat segala kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut. Hukumannya biasanya antara 6 Lasaq atau 8 Lasaq ditambah Genggalang berupa piring dan kepala Genggalang berupa sebuah tempayan (= 2 buah piring) atau labah (= 1 buah piring), karena ini adalah adat tanggul (jika sampai meninggal dunia, 15 Lasaq jika korban perempuan dan 10 Lasaq jika korban laki-laki, lihat di bawah).
Untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi, seseorang yang memasang belantik di hutan wajib mengumumkan kepada warga kampungnya mengenai letak belantik yang dia pasang. Dan ke arah belantik tersebut di pasang tanda berupa penunjuk dari kayu dengan tanda tertentu yang mengidentifikasikan bahwa di arah tersebut ada dipasang belantik. Meskipun demikian, jika tetap terjadi juga kecelakaan karena kelalaian orang lain yang tidak mengindahkan tanda-tanda tersebut dan terjadi kecelakaan, maka hukum adat tetap diberlakukan kepada si pemilik belantik.
Khusus untuk belantik, tidak boleh dipasang di kebun ubi orang lain karena akan terkena hukum adat, meskipun kegiatan berburu misalnya diperkenankan. Sebaliknya memasang belantik di bekas belantik orang lain juga tidak boleh dilakukan tanpa ijin. Jika melanggar, hukuman untuk kedua kasus ini adalah Limabalas Diatas. Salah satu alasannya adalah dalam hal pertanggungjawaban jika terjadi kecelakaan.
Perangkap yang diperkenankan untuk dipasang di mana saja adalah yang disebut tagang atau jirat (membuat pagar di hutan kemudian dipasangi jerat), meskipun jika dipasang di kebun milik orang lain harus meminta ijin terlebih dahulu. Yang sama dengan tagang adalah penjuai, talung, dan turau karena tidak terlalu berbahaya bagi manusia.
10.Tempat dan Pola Pemukiman (Benuaq) Pemukiman orang Dayak Jalai disebut Benuaq yang merupakan pemukiman utama. Pemukiman kedua adalah Dahas yang terletak jauh dari Benuaq dan dekat dengan berbagai usaha yang dilakukan oleh keluarga.
Secara umum, orang Dayak Jalai sudah lama meninggalkan tradisi hidup di rumah panjang. Satu-satunya rumah panjang yang tersisa dalam ingatan orang Dayak Jalai adalah yang berada di kampung Semenjawat dan Pasir Lingis, yang sekali lagi terpengaruh oleh kedekatan jarak mereka dengan daerah Dayak Delang di Kalimantan tengah.
Meskipun tradisi rumah panjang telah lama punah, namun arsitektur rumah tradisi orang Dayak Jalai mengadopsi unsur-unsur yang terdapat dalam rumah panjang yakni unsur keamanan, kesehatan dan kebersamaan. Rumah tersebut didirikan sekitar 3 meter dari permukaan tanah dengan tangga 3 tingkat. Dapurnya terletak di bagian depan rumah, tidak dibelakang seperti dapur yang ada sekarang. Badan rumah mengikuti bentuk lumbung (Jurung) yang masih cukup banyak ditemukan dalam komunitas Dayak Jalai saat ini. Bentuk tersebut mengikuti bentuk segi lima dengan dinding kedua sisi rumah melebar ke atas (tidak tegak lurus seperti rumah sekarang). Interior rumah tidak bersekat, sehingga rumah tersebut lebih mirip seperti sebuah aula pertemuan yang besar. Rumah-rumah seperti ini tidak ada lagi sekarang.
11.Kuburan (Pandam-Pasaran, Benuaq Lamaq) Pada awalnya, lokasi kuburan orang Dayak Jalai yang berdiam di kampung Tanjung dan sekitarnya terbagi-bagi dalam beberapa kelompok yang merupakan kuburan keluarga. Beberapa lokasi kuburan tua terletak di Kampas, Hibul, Sitarah, Penjerangauan, Biruq (yang digunakan sebagai lokasi kuburan sekarang).
Uraian di atas sudah cukup mewakili sistem pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak secara umum. Namun ada satu hal lagi yang belum terurai yakni konservasi ala masyarakat adat Dayak. Kata konservasi terpaksa dipakai mengingat dalam peraturan perundang-undangan di dunia dan Indonesia hampir tidak mengakomodir “konservasi hutan” yang dilakukan oleh masyarakat adat. Contoh kasus di bawah ini mestinya bisa diakui dan terakomodir dalam undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Contoh Konservasi ala Masyarakat Adat Dayak (Dayak Kodatn di Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau)
Di tengah hingar-bingar dunia internasional sibuk mau menyelamatkan hutan dan tersistematisnya pola yang dilakukan, terkadang lupa dengan inisiatif yang telah dilakukan oleh masyarakat adat. Jikapun ingin menyelamatkan hutan, para aliran konservatif penyelamat hutan, melulu hanya memikirkan hutan semata tanpa memperhatikan kehidupan manusia yang ada di sekitarnya. Sehingga muncullah konflik antara pihak luar dengan masyarakat lokal yang sesungguhnya sudah jauh lebih dulu menghuni dan mengelola sekitar wilayah hutan yang dijadikan taman nasional.Di satu sisi, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak mengakomodir konservasi yang dilakukan oleh masyarakat. Yang diakui hanya Taman Nasional, Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Buru. Jarang ditemukan konservasi yang dilakukan atas inisiatif sebuah kampung diakui oleh pemerintah. Konservasi rakyat dianggap tidak ada, tidak diperhatikan atau malah kawasannya dihancurkan atau dicaplok.
Padahal, jika kita melihat pola penyelamatan dan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sangat arif. Dari tahun ke tahun meskipun mereka berladang dan dituduh sebagai perambah hutan, nyatanya hutan mereka tetap lestari. Hal ini didukung oleh kearifan lokal yang biasanya menyediakan kawasan hutan untuk cadangan yang sering disebut sebagai hutan adat atau hutan tutupan dan atau dengan nama lain sesuai suku masing-masing.
Salah satu contoh menarik yakni dari masyarakat adat Dayak Kodatn yang tinggal di Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Bahkan mereka kini mempunyai tulisan lengkap berupa buku tentang hutan adat mereka. Judulnya Kearifan Lokal Masyarakat Sanjan dalam Mengelola Hutan Adat Tomawakng Ompu'.
Sekitar tahun 1930-an, seorang tetua di Kampung Sanjan yang bernama Kakek Bok mengajak masyarakat di sana untuk tidak berladang di kawasan dekat kampung. Ajakan Kakek Bok ini kemudian diikuti oleh semua masyarakat saat itu, sehingga menjadi sebuah kesepakatan bersama untuk tidak berladang di dekat kampung. Sepeningalan Kakek Bok, diberikanlah kepercayaan kepada Kakek Panyi untuk menjaga rimma ompu' atau pulo ompu' ini. Rimma ompu' atau pulo ompu' berarti kawasan rimba kampung atau pulau kampung.
Kemudian pada tahun 1950, pengelolaan hutan diserahkan kepada seorang Domong yang bernama Pateh Anom Ating. Dibawah kepengurusan Domong Ating ini, maka pada tahun 1953 dilakukanlah penataan batas hutan. Pada saat ini juga dibuat beberapa kesepakatan kampung tentang pengelolaan kawasan hutan tersebut. Pada masa itu juga dibentuk kepengurusan kampung, termasuk juga kepengurusan hutan adat. Hingga saat ini, kepengurusan hutan adat Kampung Sanjan telah mengalami beberapa kali pergantian. Tahun 2009-sekarang, ketuanya Loteus, sekretaris, Jambi dan bendaharanya Piyot.
- Potensi Hutan Adat
- Hukum Adat Pengelolaan Hutan
Dalam sistem hukum adat masyarakat adat Dayak Kodatn di Sanjan ini diatur perihal pemanfaatan sumberdaya hutan. Ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama terkait pengelolaan hutan adat ini yaitu:
- Hutan tidak boleh diladangi.
- Dalam kawasan hutan tidak boleh ditanami tumbuhan untuk pribadi/perorangan.
- Hasil hutan berupa kayu, rotan, damar, jenis anggrek dan lainya tidak boleh dijual keluar untuk kepentingan pribadi.
- Orang luar tidak diperkenankan memetik hasil hutan yang ada.
- Menebang pohon hanya untuk ramuan rumah, sesuai dengan kebutuhan.
- Tanaman milik pribadi dalam kawasan hutan boleh digarap oleh pemiliknya. Tanahnya menjadi milik komunal, kecuali kebun karet, kebun tengkawang,
Dalam kasus penerapan hukum adat terhadap pelanggaran yang dilakukan, contoh menarik dikemukakan oleh Lubu', tetua adat setempat. Berikut ini penuturannya:
”Saya dulu jadi ketua kampung. Datang orang dari Kampung Makuk ke sini cari kayu garu. Saya khilaf, lalu saya antar mereka ke hutan, lalu dapat satu batang garu dan mereka tebang. Nah setelah beberapa lama, ada yang tanya kenapa Pak Lubu' nyuruh mereka nebang pohon itu? Itu kan ndak boleh. Baru saya ingat, dulu kan saya yang melarang. Apa boleh buat, di pinta adat, lalu saya bayar sesuai ketentuan yakni adat tiga tail. Itu pelajaran bagi saya. Kalau masyarakat melanggar, harus dihukum juga, karena saya sudah beri contoh”.
Selain itu, Lubu' yang mantan ketua hutan adat ini juga berpesan bahwa orang tua jaman dulu tidak sekolah tapi bisa memikirkan tentang hutan itu untuk melindungi manusia, itulah yang pertama untuk melindungi karena kayu itu jantung dunia. Ia juga mengatakan, meskipun ia tidak lagi menjadi ketua hutan adat, selama ia masih hidup jangan coba-coba merombak hutan itu, sebab semuanya warisan dari nenek moyang jaman dulu dan harus dijaga.
Lain halnya dengan Suden (60) mantan ketua hutan adat tahun 1978. Ia menuturkan bahwa dulu belum banyak manusia, mudah mengaturnya. Seharusnya kesepakatan tentang pengaturan hutan adat itu ditinjau setiap tahun.
Berkaitan dengan hak kaum perempuan atas pengelolaan hutan adat ini, perannya cukup penting. Sebab hak perempuan sama dengan hak laki-laki. Sia (65) dan banyak kaum perempuan yang sudah berumur, selalu aktif dalam setiap pertemuan kampung membahas persoalan hutan adat ini.
Dalam perjalanannya, telah terjadi beberapa kali pelanggaran terhadap ketentuan tersebut oleh warga Sanjan sendiri. Yaitu pada kurun waktu 1966-1973, kemudian pada tahun 2000 dan 2001 dan yang terakhir terjadi pada tahun 2003. Dan untuk pelanggaran ini, sesuai kesepakatan, di ganjar sanksi adat tiga tail. Kini, hutan adat mereka sudah dipetakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sanggau dan tinggal menunggu waktu untuk proses penetapannya melalui surat keputusan bupati agar masuk dalam tata ruang Kabupaten Sanggau.
Penutup
Memelihara, menjaga dan mengelola hutan beserta sumber daya alamnya, bukanlah pekerjaan baru bagi masyarakat adat. Tetapi pemerintah masih setengah hati untuk mengakuinya. Padahal, dalam pertemuan internasional di Lombok (Juli 2011), Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmen untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat yang bermukim di sekitar dan dalam hutan melalui, “pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak dan kearifan Masyarakat Adat”. Pemerintah Indonesia setuju untuk bekerja lebih dekat dengan masyarakat adat dalam mengembangkan dan mengimplementasikan strategi baru di tingkat nasional untuk menjamin hak-hak atas tanah dan akses kepada Sumber Daya Alam pada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan yang diperkirakan mencapai luas hutan 130 juta hektar di seluruh Indonesia. Komitmen itu juga didukung oleh pemerintah Indonesia melalui rencana perubahan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Dalam Seminar tentang ICAAs (Indigenous peoples’ and local communities conserved territories and areas) di CIFOR, Bogor tanggal 13-14 Oktober 2011 lalu, pihak Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) yang diwakili salah seorang stafnya, Sondang, mengatakan bahwa Dirjend PHKA akan segera mengusulkan perubahan Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan targetnya disahkan tahun 2012. Dalam undang-undang yang baru nanti, konservasi berdasarkan inisiatif masyarakat adat dan komunitas lokal akan diakui.
Grazia Borrini-Feyerabend asal Swiss selaku konsorsium ICCA-berharap inisiatif yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat di seluruh dunia agar diakui oleh pemerintah masing-masing negara karena instrumen hukum internasional dan nasional sudah mengakuinya.
Kalangan konservasi konservatif mulai serius memperhatikan inisiatif lokal ini pada Kongres Taman Dunia di Durban, Afrika Selatan tahun 2003. Saat kongres di Durban itu, ICAAs didefenisikan oleh World Conservation Union (IUCN) sebagai “…ekosistem asli atau yang terpengaruh oleh kegiatan manusia yang memiliki keunggulan dan kekayaan secara keanekaragaman hayati, sebagai penyedia jasa lingkungan atau memiliki nilai budaya dan tradisi yang tinggi sehingga masyarakat melindunginya secara efektif melalui hukum adat dan praktek/kearifan lokal …”.
Pertanyaannya, akankah ICAAs diakui seutuhnya dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang integratif seperti yang dilakukan masyarakat adat Dayak. Bukankah stigma seperti litani pada bagian pembuka tulisan ini masih terus menggema? Barangkali peringatan Charles Brooke berikut ini patut menjadi refleksi kita bersama:
"I beg you to listen to what I have to say, and that you will recollect my words... Has it ever occurred to you that after my time out here others may appear with soft and smiling countenances, to deprive you of what is solemnly your right that is, the very land on which you live, the source of your income, the food even of your mouth? … you will lose your birthright, which will be taken from you by strangers and speculators who will, in their turn, become masters and owners whilst you yourselves, you people of the soil, will be thrown aside and become nothing but coolies and outcasts of the island” (Charles Brooke, The 2nd White Rajah of Sarawak, 1915, Colchester: 1993) “Ku mohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik….Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak ada di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah lembutan untuk merampas apa yang sesungguhnya menjadi hakmu –yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makanan yang ada di mulut mu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apa pun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini”
Kita berharap, apa yang diungkapkan oleh Charles Brooke tidak terjadi dan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal bisa diterima semua kalangan sehingga mereka tidak menjadi kuli di tanahnya sendiri.
Referensi
- Bamba, John, Dayak Jalai Di Persimpangan Jalan. Institut Dayakologi, Pontianak, cetakan ke 2, 2010.
- Majalah KR, edisi 196, Desember 2011.
- Payne, 1960 dalam Marcus Colchester dalam Global Ecology and Biogeography Letters Vol. 3, No. 4/6, The Political Ecology of Southeast Asian Forests: Transdisciplinary Discourses (Jul. - Sep. - Nov., 1993), p. 158.
- Lubu' (71), diwawancarai di rumahnya Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau, 5 Juli 2011, diijinkan untuk dikutip.
- Suden (60), diwawancarai di rumahnya Kampung Sanjan, Desa Sei Mawang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau 5 Juli 2011, diijinkan untuk dikutip.
21.04 | | 0 Comments
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "